Sulistyo-Basuki's Blog

Home » Artikel Ilmiah » Membangun Jejaring Kerja Perpustakaan Kementerian Agama

Membangun Jejaring Kerja Perpustakaan Kementerian Agama

Pendahuluan

Perpustakaan bertujuan menyediakan data dan informasi bagi pemakainya, tanpa memandang dari mana dan bentuk data serta informasi tersebut. Hal ini sudah lama dicanagkan UNESCO. Hal tersebut diikuti oleh Madjelis Ilmu Pengetaghuan Indonesia dengan menyelenggarakan Seminar Djaringan Dokumentasi dan Informasi di Indonesia. (usul, 1976)).Jaringan tersebut merupakan cikal bakal pembentukan jaringan dokumentasi dan informasi di Indonesia., diikuti oleh berbagai perpustakaan perguruan tinggi. Sayangnya jaringan ini tidak berfungsi sepenuhnya pada tahun 1980-an (Sulistyo-Basuki, 1992).

Jaringan dokumentasi dan informasi dibentuk melibatkan pusat dokumentasi dan perpustakaan. Perpustakaan ikut serta dalam jaringan karena tiada satu punperpustakaan di dunia yang mampu memenuhi kebutuhan informasi bagi oemakai dengan mengandalkan semata-mata koleksinya sendiri. Karena itu perpustakaan perlu bekerja sama.

Kerjasama ini diwujudkan dalam kerjasama perpustakaan, kolaborasi perpustakaan danJejarng kerja perpustakaan bertujuan menyediakan data dan informasi bagi pemakai tanpa memandang asal usul data dan informasi tersebut.  Kerjasama ini dapat berbentuk formal atau informal, Untuk melaksanakan tujuan tersebut perpustakaan acapkali membentuk jejaring kerja perpustakaan, dalam bahasa Inggris disebut library networks.

Secara historis, kerjasama perpustakaan secara informal dimulai oleh ilmuwan melalui komunikasi informal yang meminjamkan koleksi pribadinya ke perpustakaan lain serta diberi akses ke koleksi khusus. Kerjasama formal perpustakaan baru ada pada abad 20 dengan tumbuhnya pinjam antarperpustakaan, catalog indukm penyimpanan terpusat dan spesialisasi subjek (Plaister, 2003).

Kerjasama, Jejaring

Dalam literatur artinya kepustakawanan, sering dijumpai berbagai istilah yang sinonim atau hamper sinonim. Istilah library co-operation diterjemahkan menjadi kerjasama perpustakaan didefiniskan sebagai metode perpustakaan atau system perpustakaan bekerja bersama untul keuntungan bagi pemakai perpustakaan  termasuk pengatalogan terpusat,pemnbgatalogan bersama, pertukaran informasi bibliografis internasional, katalog, berbagi smber daya dsb.

Konsorsium artinya  persetujuan antara sejumlah perpustakaan berdasarkan kesewpakatan formal untuk berbagi sumber daya. Klazimnya konsorsium dibentuk berdasarkan pendekatan geografi (terbatas pada sebuah kota atau kawasan, jenis perpustakaan (mislanya perpustakaan yang bergerak dalam bidang pendidikan manajemen pascasarjana) atau subjek.

Library network diterjewmahkan menjadi jaringan perpustakaan atau jejaring perpustakaan adalah dua perpustakaan atau lebih yang bekerja besama bertukar informasi melalui saluran komunikasi bersama (Reitz,2004).

Prinsip kerjasama

Prinsip ini dikemukakan terlebih dahulu karena pengalaman menunjukkan bahwa  kerjasama perpustakaan tidak berjalan bil aberbagai komponen tidak dipenuhi.  Kerjasama perpustakaan dalam bentuk jejaring kerja perpustakaan memerlukan prinsip dan syarat sebagai berikut :

  • Prinsip Sinergi

Prinsip sinergi artinya kekuatan bersama melebihi kekuatan masing-masing perpustakaan. Prinsip ini dikenal dengan sinergi artinya gabungan beberapa kekuatan akan lebih besar daripada kekuatan masing-masing. Misalnya ada 4 pustakawan (A,B,C dan D), masing-masing  hanya kuat memanggul beras seberat 50 kilogram jadi jumlahnya 200 kg. Namun bila A, B, C dan D bersama-sama mengangkat beras, maka jumlah beras yang dipanggulnya lebih dari 200 kg katakanlah 220 kg.

Demikian pula dengan konsep kerjasama perpustakaan dapat dirumuskan sebagai berikut :

                        K (P1 + P2 + … + Pn> K P1 + KP2 + … +K Pn

 Dengan pengertian bahwa K adalah kekuatan dan efektivitas, P1 + P2 + … + Pn  adalah masing-masing kekuatan dan efektivitas masing-masing perpustakaan. Bila kekuatan dan efektivitas kelompok lebih besar daripada kekuatan dan efektivitas masing-masing perpustakaan maka kerjasama perlu dilakukan. Bilamana efektivitas dan kekuatan gabungan perpustakaan sama dengan kekuatan dan efektivitas masing-masing perpustakaan, maka kerjasama perpustakaan perlu ditanyakan. Situasi itu dirumuskan sebagai berikut :

                        K (P1 + P2 + … + Pn) = K P1 + KP2 + … +K Pn

Dalam hal kekuatan dan efektivitas gabungan perpustakaan lebih kecil daripada  kekuatan dan efektivitas masing-masing perpustakaan, maka kerjasama tidak perlu dilakukan. Situasi  tersebut dirumuskan sebagai berikut :

                        K (P1 + P2 + … + Pn)  < K P1 + KP2 + … +K Pn

  • Prinsip mau berkorban demi jejaring keja perpustakaan

Perpustakaan yang ikut dalam jejaring kerja tidak memiliki kemampuan yang sama menyangkut koleksi, jasa, sumber daya manusia dan fasilitas lain. Maka dapat diperkirakan bahwa perpustakaan kecil akan lebih sering meminta bantuan atau jasa perpustakaan lebih besar daripada sebaliknya (Sulistyo-Basuki, 2012). Secara hipotetsi hal itu digambarkan sebagai berikut :

Membangun Jejaring Kerja Perpustakaan Kementerian Agama

Gambar hipotetis di atas menunjukkan bahwa perpustakaan besar cenderung bejerjasama dengan perpustakaan besar sedangkan permintaan jasa dari perpustakaan kecil ke perpustakaan besar cenderung lebih banyak dibandingkan jasa sebaliknya.

Gambar di atas secara hipotetis ditunjukkan dari besaran gambar, semakin besar gambar sebuah perpustakaan semakin besar koleksi dan kemampuan jasa informasinya.

  • Teknologi informasi

Memanfaatkan teknologi informasi (TI).  Aplikasi TI pada perpustakaan ini merupakan perkembangan tahap demi tahap, dimulai dari perpustakaan berbasis manual. Dengan adanya komputer, perpustakaan mulai melakukan kegiatan yang bersifat berulang-ulang dengan bantuan komputer. Tahap ini disebut automasi perpustakaan, dimulai dengan automsi bagian katalog, sirkulasi kemudian meningkat ke bagian lain seperti pengadaan. Sesudah automasi muncul Internet. Maka berkembanglah perpustakaan dengan koleksi digital, disebut perpustakaan digital ada pula yang menyebutnya sebagai perpustakaan hibrida.

Disebut perpustakaan hibrida karena koleksinya merupakan gabungankoleksi cetak dengan koleksi digital.Dengan kata  lain pada perpustakaan hibrida, sumber elektronik atau artefak digital digunakan bersama-sama sumber teercetak (heritage materials) sehingga jasa informasi merupakan campuran media tradisional dan media lebih baru. Anggapan adanya perpustakaan hibrida diperkuatoleh kenyataan bahwa tidak semua perpustakaaan akan didigitalisasikan sehingga tidak mengherankan bila Bropy (2001) menyebutnya sebagai “complex libraries.” Keberadaan perpustakaan hibrida bukan merupakan sebuah fase transisi melainkan lebih merupakan model tersendiri.

Selanjutnya muncul istilah perpustakaan maya. Istilah yang berkembang ialah perpustakaan maya namun demikian ada yang berpendapat bahwa  secara semantik istilah virtual berbeda dengan istilah digital library (Koeneman, 2002). Perpustakaan  maya mencoba menciptaulangpengalaman sebuah perpustakaan dalam format elektronik sedangkan perpustakaan digital memusatkan pada penciptaan dan akses ke koleksi elektronik (suara, teks atau citra) dengan menggunakan berbagai teknologi informasi. Koleksi digital memegang peran lebih penting daripada spek maya atau portal.

Perpustakaan tanpa tembok (libraries without wall). Definisi mengarah pada pengertian bahwa pemakai dapat mengakses koleksi di perpustakaan lain di luar dinding tempat pemakai berada, bahkan dalam beberapa hal pemakai dapat mengunduh (download) teks atau berkas.

Karena adanya berbagai pengertian tentang perpustakaan digital maka Borgman mengatakannya sebagai definisi yang jauh dari selesai (Borgman 1999, 2000). Istilah perpustakaan digital memiliki banyak makna dan gugusan definisi dalam dimasukkan dalam 2 tema sebagai berikut:

From a research perspective, digital libraries are content collected and organized on behalf of user communities.

From a library-practice perspective, digital libraries are institutions or organizations that provide information services in digital forms.

Dari definisi di atas terdapat elemen sebagai berikut :

  1. Perpustakaan digital bukan merupakan maujud (entity) tunggal
  2. Perpustakaan digital memerlukan teknologi komunikasi dan informasi ke sumber  yang tersebar di berbagai tempat
  3. Kaitan antara berbagai perpustakaan digital bersifat transparan bagi pemakai bertujuan akses universal terhadap             perpustakaan digital  dan jasa informasi
  4. Koleksi perpustakaan digital tidak terbatas pada surogat (pengganti) dokumen melainkan ke artefak digital yang tidak dapat diwakili atau diwujudkan atau distribusikan dalam format tercetak.

Berikut ini sembilan prinsip membangun koleksi digital dari NISO Framework Working Group tahun 2007. dengan ubahan oleh penulis:

  1. Koleksi digital  yang baik diciptakan sesuai dengan kebijakan pengembangan koleksi yang eksplisit.
  2. Koleksi harus dideskripsi sehingga seorang pemakai dapat menemukan karakter koleksi, misalnya ruamg lingkup, format, pembatasan akses, kepemilikan, dan informasi  yang maknawi (signifikan) untuk menentukan otentisitas, integritas dan interpretasi koleksi.
  3. Koleksi yang baik  dirawat, artinya sumber daya dikelola selama masa hidup sumber daya.
  4. Koleksi yang baik tersedia dan hindarkan rintangan yang tak perlu terhadap penggunaan koleksi. Koleksi hendaknya dapat dicapai bagi penyandang cacat, dan tergunakan secara efektif dalam kaitannya dengan teknologi adaptif.
  5. Koleksiyang baik menaati hak kekayaan intelektual.
  6. Koleksi yang baik memiliki mekanisme untuk menyediakan data yang bermanfaat dan data lainnyayang memungkinkan pencatatan ukuran baku tentang kegunaan koleksi.
  7. Koleksi yang baik bersifat interoperasional.
  8. Koleksi yang baik terintegrasi pada alir kerjap emakai.
  9. Koleksi yang baik bersinambungan dalam perjalanan waktu.

Dukungan dari pemangku kepentingan, khususnya pimpinan perguruan tinggi bagian komputer dan akademik.

Pada butir 3 di atas, telah dibahas tentang pengembangan perpustakaan manual sampai ke perpustakaan digital. Pembentukan perpustakaan terautomasi sampai perpustakaan digital memerlukan infrastruktur teknologi, pembentukannya memerlukan persetujuan pimpinan perguruan tinggi. Dalam pembentukan kerjasama berbasis TI, diperlukan infrastruktur teknologi.

  • Infrastrurkrtur teknologi.

Karena infrastruktur ini menyangkut kepentingan kampus yang luas, maka diperlukan komitmen pimpinan PT misalnya menyangkut perangkat keras, perangkat lunak yang tidak perlu seragam namun memiliki kemampuan interoperabilitas, kemampuan sumber daya manusia.

  • Repositori institusi

Tahap berikutnya adalah pembentukan repository institusi (institutional repository). Di lingkungan perguruan tinggi kini ada kewajiban menyrahkan  karya akhir mahaiswa (skripsi, tesis, disertasi) dalam bentuk berkas lunak k (soft file) ke perpustakaan. Seiring dengan  perpustakaan digital muncul kebutuhan baru akan repository institusi (institutional repository). Butiran topic ini mengacu ke  komponen keempat yaitu dukungan pemangku kepentingan.

Repositori dapat berarti gudang sehingga bisa mencakup perpustakaan, museum, arsip baahkan juga gudang. Kini pengertian institutional repository (repository institusi, selanjutnya disingkat IR) mengacu pada penyimpanan dan preservasi informasi digital sebuah organisasi atau asset pengetahuan sebuah organisasi (Branin, 2010) . Repostory institusi didefinisikan sebagai :

“A permanent, institute-wide repository of diverse locally produced digital eworks (e.g. article preprints and postprints, data sets, eletrpnoc theses and dissertations, learning objects, and technical reports that is available for public use and supports metadata harvesting.” (University of Houston,2006).

Definisi serupa diberikan juga oleh Mark & Shearer (2006) yang menulis :

“An Institutional Repository is a way for every academic institution so ‘showcase’ its intellectual prowess through the systematic collection, organization, making accessible and preservation of its intellectual output.”

Jadi sebuah IR bertujuan memperoleh, melestarikan dan menyediakan akses ke karya digital yang merupakan produk sebuah komunitas; di sini komunitas dapat berarti universitas, lembaga penelitian, organisasi dsb.

Repositori institusi  dibentuk dengan tujuan menjalankan aktivitas sebagai berikut:

  1. Membantu dalam penciptaan dan penyerahan asset digital;
  2. Membuka luaran universitas ke hadirin sedunia
  3. Memaksimumkan kenampakan dan dampak luaran tersebut sebagai hasil universitas
  4. Mengelola dan merawat luaran digital
  5. Mengukur dan mengelola aktivitaas penelitian dan pengajaran
  6. Memungkinkan serta mendorong  pendekatan antardisiplin terhadap riset
  7. Penyiapan metadata atau pelatihan dan bimbingan dalam penyiapan metadata
  8. Manajemen hak intelektual
  9. Manajemen preservasi
  10. Bantuan dalam akses dan penggunaan konten
  11. Pemasaran.
  • Open Access

Kebijakan akses terbuka menyangkut perpustakaan digital sebuah universitas tetap memerlukan izin pimpinan. Dalam hal perpustakaan digital bentukan perpustakaan dengan bantuan izin pimpinan. Akses terbuka untuk umum bervariasi, mulai dari terbatas pada data bibliografis, bagian-bagian tertentu yang dapat dibuka sampai ke mengunduh (download) dokumen yang ada di peprustakaan digital.

Internet memunculkan peluang komunikasi keilmuan (scientific communication, scholarly communication) baik secara formal mau pun informal. Karena sifat monopoli penerbit, ketidakmampuan perpustakaan mengikuti harga langganan, ketidakpuasan ilmuwan yang harus membayar untuk karangannya serta hak cipta yang ipegang oleh penerbit mendorong gerakan Open Access (selanjutnya disebut OA).

Gerakan OA yang pertama kali adalah Budapest Open access Initiative pada bulan Desember 2001 di Budapest, Pertemuan itu dianggap pwenting karena Budapest Open access Initiative merupakan kelompok yang pertama  kalui memndefinsikan OA, pertama kali menggunakan istilah ‘open access’, pertama kali menuntu jurnal OA dan arsip OA, pertama kali menyerukan OA di semua negara serta semua disiplin.

Prinsip OA dari Budapest Open Access Initiative menyatakantradisi lama dan teknologi baru telah berbaur menciptakan barang public yang belum ada sebelumnya. Tradisi lama ialah kemauan ilmuwan dan pandit untuk menrbitkan hasil riset mereka dalam jurnal tanpa honor, demi kemajuan ilmu dan pengetahuan. Teknologi baru ialah internet. Barang publik yang dihasilkan dengan internet memungkinkan distribusi elektronik ke seluruh dunia dari literatur jurnal bermitra bestari, bebas seluruhnya dan dapat diakses oleh siapa saja.

Dengan menghilangkan hambatan ini maka literature jurnal akan mempercepat penelitian, memperkaya pendidikan, berbagi pembelajaran antara mereka yang kaya dengan yang miskin srrta meletakkan dasar mempersatukan umat manusia dalam pencarian pengetahuan (Budapest Open Access Initiative) Setelah itu muncul Bethesda Statement on Open Access Publishing (June 2003) dan Berlin Declaration on Open Access to Knowledge in Sciences and Humanities (October 2003).

  • Dukungan anggaran.

Dukungan ini berupa tindakan tradisional yang lazim diperlukan perpustakaan seperti ketetapan anggaran perpustakaan PT yaitu sedikit-dikitnya 5% dari anggaran perguruantinggi (Standar 2006), karir yang jelas bagi pustakawan, ketersedian gedung perpustakaan yang berada di lokasi yang terakses bagi semua pemakai.

Pendayagunaan jejaring kerja

 Jejaring kerja yanga dewasa ini dapat didayagunkan dalam wujud :

  • Berbagi sumber daya informasi

Berbagi sumber daya informasi ini dapat dilakukan secara manual maupun berbantuan elektronik. Bagi perpustakaan  yang sudah mencapai tahap digital, koleksinya dapat diakses oleh perpustakaan peserta. Akses ini ditentukan oleh kebijakan masing-masing PT, sifatnya bervariasi; mulai dari akses ke data bibliografis yang terbatas  (pengarang,judul, sbtrak),  meningkt ke akses babagian-bagian tertentu karya akhir mahasiswa (mislanya pendahuluan, landasan teori, penutup, daftar pustaka), selanjutnya ke akses dokumen penuh (dapat ilihat seluruhnya) hingga ke fasilitas pengunduhan dokumen digital penuh. Ketentuan akses dan pengunduhan ini lazimnya ditetapkan oleh pimpinan PT.

  • Pinjam antarperpustakaan

Fasilitas ini memungkinkan sebuah perpustakaan saling meminjamkan koleksinya ke perpustakaan lain. Untuk keperluan pinjam antarperpustakaan (ada yang menyebutnya silang layan) diperlukan sarana berupa catalog induk untuk memungkinkan perpustakaan peserta melihat materi perpustakaan yang diperlukan berada di mana. Berdasarkan penelitian (Sulistyo-Basuki, 2007) kegiatan ini di Indonesia tidak pernah berjalan karena berbagaui alasan. Bila berjalan, maka yang dikirimkan adalah fotokopi buku. Hal ini sebenarnya melanggar hak cipta (UU Hak Cipta, 2002).

  • Penyediaan fasilitas

Perpustakaan menyediakan fasilitas bagi anggota perpustakaan lain untuk dimanfaatkan. Fasilitas ini penggunaan fasilitas perpustakaan lain mislanya ruang baca, baca di tempat, fotokopi, penelusuran namun tidak boleh meminjam buku. Fasilitas peminjaman buku dilakukan mellalui system pinjam antarperpustakaan.

  • Fasilitas latihan jabatan

Artinya disini staf perpustakaan dapat magang di perpuastakaan lain.

  • Berbagi sumber daya

Artinya aktivitas sebagai tindak lanjut kesepakatan formal maupun informal untuk berbagi koleksi, data, fasilitas, personil dsb. untuk kepentingan pemakai.

  • Kerjasama preservasi
  • Pengembangan katalog induk

Masing-masing perpustakaan anggota menyerahkan ke pusat. Perpustaakaan anggota memperdapatkan hak istimewa untuk mengakses pngkalan data tersebut dibandingkan perpustakaan bukan anggota (Pilling & Kennam, 2002).

Kendala

  •  Kekuatan koleksi yang tidak sama.

Penyebaran koleksi yang tidak merata sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam jasa informasi. Sebenarnya masalah ini ada di mana-mana karena itu diperlukan kerjasama melalui jejaring kerja. Nmaun demikian perlu penambahan koleksidi masing-masing perpustakaan  agar kesenjangan semakin kecil. Sebaiknya pengadaan koleksi untuk perpustakaan di lingkungan Kem Agama tidak selalu terpusat, sebahagian dapat diserahkan ke perpustakaan masing-masing. Dengan demikian akan terbentuk koleksi yang beragam.

  • Sumber Daya Manusia (SDM)

Masalah SDM khususnya tentang sumber daya manusia. Ada pandangan bahwa dosen lah yang lebih layak menjadi kepala perpustakaan PT. pendapat tersebut memiliki kelemahan berupa dosen tidak dirancang untuk menjadi pustakawan atau manajer perpustakaan karena bila hal itu dilakukan maka dia memeasuki profesi lain yang berbeda dengan tujuan semula. Sebaiknya dosen diarahkan ke Tri dharma Perguruan tinggi berupa mengajar, menulis, meneliti danpengabdian masyarakat. Bila dosen sepenuhnya tertuju pada tri dharma, maka peringkat perguruan tinggi akan masuk di Webometrics. Sebagai contoh dari perguruan tinggi di Indonesia, pada 2007 dari 100 universitas, untuk Indonesia menduduki peringkat 1 sedangkan peringkat dunia menempati posisi 381. IAIN Sunan Ampel peringkat 48 Indonesia, 3664 dunia; UIN Sultan Syarif Kasim posisi 49 Indonesia 3716 dunia.

Saran lain

 Walau pun hal ini tidak langsung terkait dengan jejaring kerja perpustakaan di lingkungan Kementerian Agama, namun saran tetap dikemukakan sebagai berikut :

  • Peninjauan kembali SKB Menteri Agama dengan Menteri Pendidikan & Kebudayaan tahun 1978. SKB tersebut menyatakan bahwa Dewey Decimal Classification (DDC) edisi 18 digunakan di perpustakaan Islam. SKB tersebut mengikt tugas perpustakaan karena DDC setiap lima sampai tujuh tahun terbit edisi baru. Saat ini telah terbit DDC ed 23 (2011) dengan notasi 297 jauh lebih banyak daripada edisi 18.
  • Penggunaan  tanda 2X sebagai pengganti notasi 297 sebaiknya dipiki kembali. Praktik penggunaan sebuah notasi menjadi X seperti 297 menjadi 2X merupakan praktik setempat, secara tidak langsung menyulitkan kerjasama dengan perpustakaan lain.
  • Dalam pengolahan materi perpustakaan, hendaknya dikembangkan daftar tajuk subjek yang mendalam dan luas tentang Islam. Daftar Tajuk Subjek Perpustakaan Nasional (2010) memiliki banyak kekurangan menyangkut  subjek Islam. Juga disarankan menggunakan kata yang baku dalam bahasa Indonesia sehingga misalnya tidak ada istilah ISHOMA karena kata Sholat tidak ada dalam entri Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001). Demikian pula istilah al-Qur’an, Al Qur’an, Al Quran; yang ada ialah Alquran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001).
  • Pustakawan di lingkungan Kementerian Agama aktif dalam  mengomentari usulan notasi 297 untuk DDC edisi 24. Tim DDC ada di Perpustakaan  Nasional.

 

Penutup

Pengertian kerjasama  antara berbagai perpustakaan tercakup dalam berbagai istilah seperti kerjasama perpustakaan, kolaborasi, konsorsium dan jejaring peprustakaan. JMembangun jejaring perpustakaan memerlukan beberapa prinsip serta keterklibatan pemangku kepentingan. Adapun prinsip tersebut ialah prinsip sinergi, kesediaan berkorban, keterlibatan pimpinan perguruan tinggi.

Keterlibatan pemangku  kepentingan diperlukan menyangkut masalah infrastruktur yang berimbas ke automasi perpustakaan, pembentukan peprustakaan digital, repository institusi serta anggaran serta penentuan kepala perpustakaan perguruan timggi yang disarankan sebaiknya dari pustakawan daripada dosen karena perpustakaan sebaiknya dikelola oleh tenaga professional. Dosen disarabnkan berkonsentrasi pada Tri Dharma, karyanya disimpan di repository institsu agar dapat meningkatkan kenampakan universitas di Webometrics. Selama ini peringkat di Webometrics lebih banyak diduduki universitas negeri terlepas dari criteria bahwa webometrivs lebih mengarah ke evakluasikuantitatif.

 Di segi lain perlu keikutsertaan perpustakaan di lingkungan Kementerian Agama menyangkut pengisin repository institusi, pengolahan materi perpustakaan dengan menggunakan pedoman  yang lebih mutakhir, partisipasi dalam notasi 297 untuk DDC edisi 24.

Bibliografi

Branin, Joseph. (2010). Institutional repositories. Dalam Encyclopedia of Library and Information Sciences. 3rd ed. 4:2785-2796 DOI:10.1081/E-ELIS3-120020335

Budapest Open Access Initiative (Feb 14, 2002). www.soros.org/openaccess/read.html

Getz, Malcolm. (2010). Open access scholarship and publishing. Dalam  Encyclopedia of Library and Information Sciences. 3rd ed 5:4008-4036 DOI: 10.1081/E-ELIS3- 120044492

Hahn, Karla L. (2008).Talk about talking about new models of scholarly communication. Journal of Electronic Publishing 11 (1).

http://cat.inist.fr?aModele=afficheN&amp;cpsidt=17376838

http://hdl.handle.net/2027/spo.3336451.0011.108

Indonesia. Ranking Webometrics of Universities. Diunduh 10 september 2012

Johnson, Peggy.(2009). Fundamentals of collection development and management. Chicago:American Library Association.

Kamus Besar Bahasa Indonesia.(2001). Ed 3. Jakarta: Balai Pustaka.

Kenna, Stephanie and Shenton, Helen. (2002).Co-operation in preservation. Dalam Co-operation in action: collaborative initiatives in the world of information. Ed. Bu Stella Pilling and Stephabnie Kenna.p:84-108.

Lynch, C. (2003).Institutional repositories: essential infrastructure for scholarship in the  digital age. Portal:Libraries and the Academy. 3(2):327-  336.DOI:10.1353/pla.2003.0039.

Pilling, Stella and Kennam Stephanie. (2002. Londoin: Facet, Plaister, Jean. (2003). Library co-operation. Dalam International Encyclopedia of Information and Library Science. Edited by John Feather and Paul Sturges.  2nd ed.London:Routledge.

Shearer,K. (2002). Institutional repositories: towards the identification of critical  success factors. Canadian Journal of Information and Library Science. Diunduh dari cais-acsi.ca

Sulistyo-Basuki. (2012). Pengantar Ilmu Perpustakaan dan Informasi (Naskah) dalam proses penerbitan.

Sulistyo-Basuki. (2004) Digititation of collection in Indonesian  academic libraries. Electronic Library and Information Systems, 38(3):

University of Houston Libraries Institutional Repository Task Force. (2006). Instututioinal repositories. Washington,D.C. SPEC Kit no. 292.

Usul kearah program nasional servis terpadu: perpustakaan, dokumentyasi dan informasi. (1976) Luwarsih Pringgoadisurjo,editor. Jakarta: Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional.

Yiotis, Kristin. (2005) The open access initiative: a new paradigm for scholarly communication. Information Technology and Libraries.

 


Tinggalkan komentar

Author