Sulistyo-Basuki's Blog

Home » Artikel Ilmiah » Pengorganisasian Materi Perpustakaan : Katalogisasi, Klasifikasi, Tajuk Subjek, dan Penjajaran

Pengorganisasian Materi Perpustakaan : Katalogisasi, Klasifikasi, Tajuk Subjek, dan Penjajaran

1. Pendahuluan

Di perpustakaan proses penerimaan buku dimulai dari bagian pengadaan yang menyelesaikan urusan administeratif kemudian dilanjutkan ke bagian pengolahan. Selesai bagian pengolahan, buku diserahkan ke bagian layanan atau sirkulasi kemudian ditaruh di rak. Penempatan dirak dilakukan dengan sistem terpisah artinya ada buku yang dipinjamkan, buku yang hanya digunakan untuk keperluan referensi (biasanyaditandai dengan nomor panggil menggunakan huruf R artinya referens (i), buku tandon (reserved books) dan buku berukuran linuwih (oversized books), biasanya berukuran lebih dari 30 cm.

gambar Pengorganisasian materi perpustakaan

Sesuai dengan permintaan panitia, maka makalah ini hanya membatasi pada pengolahan bahan perpustakaan atau materi perpustakaan atau buku dalam arti luas.

2. Pengolahan materi perpustakaan

Dalam pengolahan buku terdapat 4 kegiatan yang berurutan yaitu katalogisasi, klasifikasi, penentuan tajuk subjek, dan penjajaran. Penjajaran hanya dilakukan bila perpustakaan masih menggunakan sistem kartu secara hastawi (manual); bila sudah terotomasi, maka kegiatan penjajaran dilakukan sepenuhnya oleh mesin.

2.1. Katalogisasi

Katalogisasi artinya proses membuat katalog sedangkan katalog adalah daftar koleksi sebuah perpustakaan. Katalog bertujuan :

(1)   Untuk memungkinkan seseorang menemukan buku bila diketahui

  • Pengarang atau
  • Judul atau
  • Subjek

(2)   Menunjukkan apa yang dimiliki perpustakaan berdasarkan

  • Pengarang tertentu
  • Mengenai subjek terterntu
  • Jenis sastra tertentu

(3)   Membantu dalam pemilihan sebuah buku

  • Menyangkut edisi (secara bibliografis)
  • Karakter buku (literer atau topik)

Dalam praktik modern, tujuan pertama ditulis ulang untuk memudahkan  seseorang menemukan setiap ciptaan intelektual baik yang diedarkan dalam format cetak, noncetak mau pun elektronik.

Istilah katalogisasi yang digunakan di Indonesia merupakan penyerapan kata catalogisering dari bahasa Belanda. Seiring dengan meruyaknya bahasa Inggris dalam pendidikan pustakawan di Indonesia sejak akhir dasawarsa 1960 an, maka istilah Inggris mulai meresap. Muncullah istilah deskripsi bibliografis sebagai terjemahan kata bibliographical description.  Istilah lain ialah descriptive cataloguing atau pengatalogan deskriptif artinya proses pengatalogan yang mengidentifikasi  dan mendeskripsi paket informasi, perekaman informasi dalam cantuman bibliografis dan seleksi dan pembentukan titik akses. Kedua istilah tersebut sinonim dengan katalogisasi dan dalam makalah ini  semuanya  tertukarkan.

2.1.1. Komponen deskripsi

Komponen katalogisasi buku terbagi atas dua komponen besar yaitu deskripsi bibliografis dan titik akses. Untuk mengatur praktik deskripsi bibliografis, digunakan pedoman. Pedoman yang (hampir) berlaku internasional adalah Anglo-American Cataloguing Rules 2  (AACR2) kini menjadi AACR2r (revisi 2002 dan 2005). Saat ini AACR2r sudah selesai diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Perpustakaan  Nasional RI, tinggal menunggu kapan diterbitkan.

Deskripsi bibliografis berlaku untuk semua jenis bahan perpustakaan. AACR2 mengenal mengenal 11 jenis bahan perpustakaan sebagai berikut :

  1. Buku, pamflet dan lembar tercetak.
  2. Materi kartografi
  3. Manuskrip (termasuk kumpulan manuskrip), naskah
  4. Musik
  5. Rekaman suara
  6. Film dan rekaman video
  7. Materi grafis
  8. Sumber elektronik
  9. Artefak dan realia tiga dimensi
  10. Bentuk mikro
  11. Sumber berlanjut

Setiap materi memiliki ketentuan deskripsi yang berlainan. Semua deskripsi diatur dalam International Standard Bibliographic Description, disingkat ISBD  lalu untuk setiap materi perpustakaan memiliki pedoman deskripsi yang berlainan. Maka dikenal berbagai ISBD sebagai berikut :

  1. ISBD(G) untuk umum (general)
  2. ISBD(M) untuk monograf
  3. ISBD(CM) untuk materi kartografis
  4. ISBD(MSS) untuk manuskrip
  5. ISBD(PM) untuk musik tercetak
  6. ISBD(SR) untuk rekaman suara
  7. ISBD(GM) untuk materi grafis
  8. ISBD(ER) untuk sumber elektronik
  9. ISBD(AT) untuk artefak
  10. ISBD(MF) untuk bentuk mikro
  11. ISBD(CR) untuk sumber berlanjut
  12. ISBD (Analysis) untuk “analisis dalam…”

Secara umum setiap materi perpustakaan memiliki daerah deskripsi sebagai berikut :

  1. Daerah judul dan pernyataan tanggung jawab
  2. Daerah edisi
  3. Daerah rincian khusus tentang bahan terbitan
  4. Daerah penerbitan, distribusi, dsb
  5. Daerah deskripsi fisik
  6. Daerah seri
  7. Daerah catatan
  8. Daerah nomor standar dan kterangan ketersediaan

Berikut ini contoh sebuah deskripsi bibliografis

contoh sebuah deskripsi bibliografis

 

 

 

 

 

 

   2.1. 2. Titik akses

Titik akses artinya nama, istilah, kode dan sebagainya yang memungkinkan sebuah cantuman bibliografi ditelusur, dicari dan diidentifikasi. Misalnya buku dicari berdasarkan nama pengarang misalkan Pdt Gerard Abineno. Apakah dicari pada Pdt atau Gerard atau Abineno. Untuk memudahkan pemakai, maka nama-nama itu dijadikan tajuk artinya nama, istilah, kode dan sebagainya yang terletak pada bagian awal entri katalog untuk digunakan sebagai titik akses.

Guna keseragaman dibuatlah peraturan penentuan tajuk, termasuk tajuk untuk nama-nama Indonesia. Tajuk tersebut diperlukan untuk keseragaman, kemudahan pemakai serta mencari. Mungkin anda berpikir dengan adanya teknologi informasi (TI) hal itu mudah dilakukan. TU  dengan mudah mencari nama seperti  Timotius Sinambela, Alex Relmaseira dll. , namun pengarang adalah manusia yang tidak selalu menulis namanya dengan konsisten. Perhatikan nama berikut ini:

M. Taib A. Muin

K.H.M.T. Thohir Abd. Muin

M. Taib Thahir Abdul Muin

M. Thaib Thahir Abdul Muin

K.H.M. Taib Thahir Abd. Muin

K.H.M. Taib Thahir Abdul Muin

M. T. Thahir Abdul Muin

M. Taib Thohir Abdulmuin

M. Thaib Thohir A. Muin

Manakah yang anda pilih?

    2.1.2.1. Jenis pengarang

Pengarang ini terbagi atas :

  1. Pengarang perorangan
  2. Badan korporasi
  3. Nama geografi
  4. Judul seragam.

  2.1.2.1.1. Pengarang perorangan

Merupakan perorangan yang menciptakan sebuah karya.

2.1.2.1.2. Pengarang badan korporasi

Merupakan badan korporasi sebagai pengarang, berupa lembaga, departemen, organisasi, persekutuan gereja dll. Berikut ini salah satu contoh:

DB1

 

 

 

 

 

 

DB2

 

 

 

 

 

 

 

DB3

 

 

 

 

 

 

 

DB4

 

 

 

 

   

 

 

    2.1.2.1.3. Nama pertemuan

Di sini nama pertemuan seperti kongres, lokakarya, seminar dan sejenisnya merupakan tajuk artinya pengarang sebuah karya. Bila nama pertemuan tersebut merupakan kegiatan sebuah badan, maka tajuk ditetapkan pada nama badan yang bersangkutan. Namun demikian, bila sebuah pertemuan merupakan pertemuan dengan nama khasmaka tajuk ditetapkan pada nama pertemuan tersebut.

Berikut ini beberapa contoh disertai deskripsi lengkap :

DB5

 

 

 

 

 

 

 

DB6

 

 

 

 

 

 

 

    2.1.1.1.4. Tajuk seragam

Tajuk seragam digunakan untuk kitab suci, nama dan karya klasik.Bagi kitab suci untuk nama pengarang ditentukan pada nama kitab suci yang merupakan tajuk seragam.

DB7

 

 

 

 

 

 

 

DB8

 

 

 

 

 

 

 

    2.1.2.1.5. Judul seragam.

Judul seragam digunakan untuk karya perundang-undangan serta ibadat dan ritus gereja.

DB9

 

 

 

 

 

 

 

DB10

 

 

 

 

 

 

 

DB11

 

 

 

 

 

 

 

3. Klasifikasi (perpustakaan)

Dalam klasifikasi, pembaca berhubungan dengan ide dan objek yang tersusun secara sistematis. Namun bila klasifikasi digunakan untuk perpustakaan, maka pembaca berhubungan dengan materi perpustakaan, sedangkan tujuannya adalah menyusun materi perpustakaan tersebut dalam susunan paling bermanfaat bagi perpustakaan. Materi perpustakaan di sini mencakup pustaka tercetak, tulisan tangan, digrafir; jadi termasuk buku, majalah, mikrofilm, foto, gramofon, piringan hitam, kaset, video, film dll. Klasifikasi perpustakaan berusaha memberi akses terhadap materi perpustakaan tersebut.

Perpustakaan merupakan lembaga yang   berorientasi pada jasa. Untuk jasa ini diperlukan materi perpustakaan yang akan digunakan oleh pemakai. Materi perpustakaan ini disusun sedemikian rupa sehingga penggunaannya semaksimal mungkin. Klasifikasi  perpustakaan bertujuan sama.

Bila koleksi perpustakaan terbatas, misalnya sekitar 500 buku, maka pustakawan mampu menangani semua buku tanpa banyak kesulitan. Tidak perlu penyusunan buku secara sistematis. Namun bagi orang lain sudah tentu tetap sulit menemukan buku yang diinginkannya yang berada di perpustakaan.

Bila koleksi perpustakaan berkembang hingga ribuan, pustakawan mulai kesulitan menanganinya sendiri. Orang lain kecuali pustakawan tentunya jauh lebih sulit menemukan materi perpustakaan tertentu.

   3.1. Tujuan klasifikasi perpustakaan

Tujuan klasifikasi berusaha menemukan kembali materi perpustakaan yang dimiliki perpustakaan dengan tidak memandang besar kecilnya koleksi perpustakaan. Bila dirinci lebih lanjut, maka tujuan klasifikasi perpustakaan ialah :

(a) Menghasilkan urutan yang bermanfaat.

Tujuan utama klasifikasi ialah menghasilkan urutan atau susunan materi perpustakaan yang paling banyak manfaatnya bagi staf maupun pemakai  perpustakaan. Materi perpustakaan disusun menurut klas berdasarkan hubungan timbal balik antara materi perpustakaan, dengan demikian klas berkaitan terkumpul menjadi satu. Dengan kata lain, materi perpustakaan berkaitan dikelompokkan dalam urutan berdekatan sedangkan klas berlainan akan dipisahkan.

(b) Penempatan yang tepat

Bila materi perpustakaan dipinjam maka materi perpustakaan tersebut berarti diambil dari rak. Dengan demikian terjadi kekosongan ruang karena satu materi perpustakaan telah diambil. Hal ini mengharuskan klasifikasi perpustakaan menyusun kembali materi perpustakaan yang masih ada serta menata kembali bila materi perpustakaan dikembalikan. Pengembalian materi perpustakaan harus pada tempatnya yang pasti sesuai dengan klasifikasi yang digunakan.

(c) Penyusunan mekanis

Bila susunan materi perpustakaan sudah berjalan maka biasanya pustakawan segan mengubahnya. Pada susunan yang telah berjalan, pustakawan menentukan urutan berikutnya dari materi perpustakaan yang ada. Dengan demikian bila ada materi perpustakaan baru, pustakawan sudah menentukan bagimana cara menyisipkan dokuken baru di antara materi perpustakaan lama. Inilah makna penyusunan mekanis.

(d) Tambahan materi perpustakaan baru

Perpustakaan akan menerima buku terus menerus. Maka klasifikasi perpustakaan harus mampu menentukan lokasi yang paling bermanfaat bagi materi perpustakaan baru di antara materi perpustakaan lama. ASda dua kemungkinan yaitu (i) materi perpustakaan baru disisipkan pada subjek yang telah ada atau (ii) membuat klas baru karena klas tersebut belum termuat dalam bagan klasifikasi, misalnya mengenai geologi planet Venus.

(e) Penarikan materi perpustakaan dari rak

Klasifikasi perpustakaan harus memungkinkan penraikan sebuah materi perpustakaan dari rak hingga susunan materi perpustakaan tidak terganggu akibat penarikan tersebut.

(f) Tujuan lain mencakup :

– kompilasi bibliografi, katalog, katalog induk dll.

– klasifikasi informasi

– klasifikasi suren yang diterima dari pengunjung perpustakaan

– penjajaran bahan non-buku seperti korespondensi, foto, film mikrofilm dll.

– klasifikasi statistik berbagai jenis, misalnya klasifikasi  buku  yang dipinjam dapat digunakan untuk analisis permintaan pemakai

– penyusunan entri  dalam bagian berklas dari katalog berklas

– membantu pengkatalog menyusun tajuk subjekd engan proses indeks berangkai

– membantu pengkatalog analisis isi buku untuk menentukan tajuk subjek buku

– pemakai katalog menentukan lokasi sebuah buku di rak

– membantu staf menyusun daftar buku untuk perpustakaan cabang.

   3.1.2. Bagan klasifikasi

Untuk mengklasifikasi buku di perpustakaan digunakan bagan klasifikasi. Bagan klasifikasi yang banyak digunakan di Indonesia adalah Dewey Decimal Classification (selanjutnya disingkat DDC) dan Universal Decimal Classification, lazim disingkat UDC. Untuk keperluan pertemuan ini, makalah hanya membahas DDC saja.

   3.1.2.1. Sejarah

Pada tahun 1876 terbitlah sebuah pamflet berjudul A Classification and Subject Index for Cataloguing and Arranging the Books and Pamphlets of a Library. Penerbitan pamflet tersebut menpembacai terbitnya sistem Dewey Decimal Classification, lebih dikenal dengan singkatannya DDC,pertama kali terbit dengan ketebalan 44 halaman. Edisi kedua disebut “revised and greatly enlarged edition” diterbitkan oleh Dewey tahun 1885. Sejak itu hingga sekarang terbit 19 edisi lengkap dam 13 edisi singkat (abridgment edition). Edisi 12 terbit tahun 1942 merupakan edisi standar selama bertahun-tahun karena sebuah indeks eksperimental pada edisi 15 merupakan kegagalan. Edisi 16 terbit tahun 1958 dengan banyak perubahan termasuk revisi besar-besaran seksi 546-547 “Inorganic and Organic chemistry.” Sejak itu setiap edisi selalu memuat perubahan besar-besaran dalam subjek tertentu.

   3.1.2.2. Edisi awal

Edisi 2 keluar tahun 1885. Terjadi relokasi artinya penggeseran sebuah subjek dari sebuah nomor ke nomor lain. Edisi ini merupakan basis pola notasi edisi selanjutnya. Dalam edisi tersebut Dewey pertama kali mengemukakan prinsip integritas angka artinya nomor dalam bagan Dewey dianggap sudah “mapan” walaupun mungkin terjadi relokasi. Dewey menyadari gawatnya relokasi dari satu edisi ke edisi lainnya karena perubahan, lebihlebih lagi relokasi, menyebabkan perlunya reklasifikasi, padahal reklasifikasi tidak disenangi pustakawan. Integritas angka atau stabilitas angka tetap dipertahankan pada edisi-edisi awal DDC walaupun perubahan angka tertentu tidak dapat dihindari.

Dewey mengawasi revisi bagannya hingga edisi ke 13, selanjutnya diserahkan ke badan bernama Lake Forest Foundation, kini dipegang oleh OCLC Online Computer Library Center berpusat di Dublin,Ohio,AS,

   3.1.2.2.  DDC Edisi lengkap

Edisi ke 14 mempertahankan kebijakan sebelumnya, rinciannya semakin meruyak namun sedikit perubahan dalamstruktur dasar. Perluasanpun tidak seimbang karena masih banyak bidang yang belum dikembangkan. Pada edisi 15 diambil kebijakan yaitu rincian di beberapa bidang dipangkas sehingga terdapat keseimbangan dalam subdivisi. Kalau pada edisi 14 terdapat sekitar 31.000 entri maka pada edisi 15 dipangkas menjadi 4700 entri. Juga disadari bahwa bagan DDC tidak sesuai dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sains dan teknologi. Ini terjadi mungkin karena kebijakan integritas nomor. Pada edisi 15 diputuskan untuk relokasi sejumlah besar subjek. Indeks juga diperbaiki, diringklas sedangkan ejaan yang disederhanakan yang digunakan pada edisi sebelumnya kini ditinggalkan.

Setelah terbitan edisi 15 pada tahun 1951 terbukti bahwa perubahan yang dilakukan dalam edisi 15 dianggap terlalu berat bagi pustakawan. Banyak pustakawan tetap menggunakan edisi 14.

Edisi 16 terbit tahun 1958, memulai tradisi baru dengan kebijakan siklus revisi tujuh tahunan artinya setiap 7 tahun, bagan Dewey akan keluar dalam edisi baru. Pada edisi 16 diputuskan untuk kembali kepada kebijakan lama mempertahankan enumerasi terinci sambil mengambil butir inovatif dari edisi 15 seperti ejaan baku, peristilahan yang mutakhir serta penyajian tipografi yang menarik.

Edisi 17 hingga 19 tetap berpegang pada kebijakan di atas. Editor DDC tetap mempertahankan prinsip integritas nomor dalam batas-batas masih masuk akal. Edisi 20 terbit tahun 1989 dengan beberapa perubahan. Warna edisi menjadi coklat muda, dibagi menjadi 4 jilid karena edisi sebelumnya (terutama bagan klasifikasi) dianggap terlalu repot.

Walaupun tetap mempertahankan prinsip integritas nomor, dalam edisi ini prinsip tersebut sedikit dilanggar. Terjadi relokasi misalnya Komputer kini menepati 001 semula bagian dari elektronika.

Edisi 21 terbit tahun 1996 sesuai dengan siklus 7 tahunan. Edisi tersebut muncul dengan warna biru tua, juga terbagi atas 4 jilid. Jilid 1 memuat tabel, jilid 2 bagan dari 000 – 500, jilid 3 bagan 600 – 900 sedangkan jilid 4 merupakan indeks. Di samping  format cetak, juga muncul dalam format elektroik dalam bentuk CD ROM. Edisi 22 muncul pada bulan Juli 2003 juga terbit dalam 4 jilid dengan perubahan besar pada notasi 004 – 006 komputer.

   3.1.2.3.  Edisi ringkas

Untuk keperluan perpustakaan kecil serta perpustakaan dengan laju pertumbuhan lamban maka sejak tahun 1894 diterbitkan edisi ringkas. Edisi ringkas ini memuat kira-kira 2/5 dari edisi lengkap. Edisi ringkas digunakan oleh perpustakaan sekolah serta perpustakaan umum yang kecil.

Pada awal mulanya, edisi ringkas direvisi bilamana dianggap perlu. Ketentuan ini kemudian diubah, setiap edisi ringkas diterbitkan mengikuti pola edisi lengkap. Untuk edisi lengkap 19 diterbitkan edisi ringkas ke 11. Dengan terbitnya edisi lengkap 20 maka edisi 12 ringkas diharapkan terbit sekitar tahun 1991. Hingga edisi ringkas ke 9, edisi tersebut merupakan ringkasan sebenarnya dari edisi lengkap. Namun sejak edisi ringkas 10, dilakukan  adaptasi sehingga terdapat nomor untuk berbagai subjek yang berbeda dengan edisi lengkapnya. Jadi bukan hanya ringkasan belaka. Jadi kadang-kadang merupakan ringkasan, kadang-kadang merupakan adaptasi. Atas permintaan pemakai, maka edisi ringkas ke 11 merupakan ringkasan sesungguhnya dari edisi lengkap 19.. edisi 12 ringkasan dari DDC edisi 20 sedangkan edisi 13 merupakan ringkasan dari DDC edisi 21. Saat ini sudah terbit DDC ed 22 (2003) serta edisi ringkas 14 (2004).

Perpustakaan Nasional RI tengah menerjemahkan DDC edisi ringkas 14 kedalam Bahasa Indonesia, hasilnya  diperkirakan selesai tahun 2011. Edisi ringkas didisain untuk keperluan perpustakaan sekolah, perpustakaan umum dengan koleksi tidak lebih dari 20.000 judul.

4. Tajuk subjek

Tajuk subjek adalah kata atau kelompok kata yang menunjukkan subjek sebuah buku atau materi perpustakaan lainnya pada katalog atau bibliografi yang tersusun menurut abjad. Bila pada katalog berkelas, subjek sebuah buku ditunjukkan berdasarkan simbol klasifikasi maka pada katalog atau bibliografi sistem abjad, simbol klasifikasi digantikan dengan denominator subjek verbal. Misalnya pada katalog berkelas simbol klasifikasi Aljabar ditunjukkan pada notasi 510, maka pada tajuk subjek simbol klasifikasi tersebut diganti menjadi ALJABAR.

Perbedaan lain antara pendekatan berkelas dengan tajuk subjek terletak pada pendekatannya. Pada katalog berkelas yang disusun menurut klasifikasi, pendekatan penyusunan materi perpustakaan bersifat logis serta metodis. Misalnya katalog pada kelas 510, akan diikuti oleh katalog bernotasi 511,512,513… Di sin ada sistematisasi,urut-urutan dari 510,511 dan seterusnya. Bila pembaca melihat katalog yang disusun menurut abjad tajuk subjek maka pendekatannya bersifat abjad acak pada konsep yang inheren dalam materi perpustakaan. Maka pembaca akan melihat pada katalog subjek seperti ALJABAR, AMERIKA SERIKAT, ASMARA,  BIOLOGI, BOTANI dsb. Pembaca akan melihat bahwa antara subjek ALJABAR dengan subjek AMERIKA SERIKAT sama sekali tidak ada hubungannya; berbeda dengan urutan linier pada skema klasifikasi, 510, 511, 512 merupakan bagian yang berkaitan.

Adapun tujuan pengkatalogan subjek sebagaimana dikemukakan oleh Shera dan Egan (1956) adalah :

  1. menyediakan akses berdasarkan subjek bagi semua merti perpustakaan yang relevan;
  2. menyediakan akses subjek terhadap semua materi perpustakaan melalui prinsip penataan subyek yang sesuai, misalnya berdasarkan proses, aplikasi, masalah dsb.;
  3. menyatukan rujukan pada materi perpustakaan yang secara substansi memiliki subjek yang sama dengan tidak memandang perbedaan terminologi; perbedaan tersebut muncul karena perbedaan nasional, perbedaan antara kelompok spesialis subjek dan atau karena perubahan sifat konsep dalam disiplin itu sendiri. Perbedaan nasional misalnya istilah railway (Inggeris) dan railroad (AS); tissue  diantara biolog dengan pertekstilan.
  4. menunjukkan afiliasi di antara bidang-bidang subjek. Afiliasi tersebut tergantung pada kesamaan masalah atau metode atau titik pandang  masalah yang dikaji atau tergantung pada penggunaan atau aplikasi pengetahuan;
  5. memberikan titik masuk pada bidang subjek pada setiap tingkat analisis, mulai dari yang paling umum sampai dengan yang paling spesifik.
  6. menyediakan titik masuk melalui setiap kosakata yang lain bagi setiap kelompok pemakai, baik pemakai khusus maupun awam.
  7. memberikan deskripsi formal isi subjek dari setiap unit bibliografis dalam istilah yang paling tepat atau paling  spesifik; deskripsi tersebut dapat berbentuk kata tunggal atau frase atau dalam bentuk nomor kelas atau simbol.
  8. memberikan sarana bagi pemakai untuk memilih dari semua butiran dalam setiap kategori, menurut kriteria tertentu seperti yang paling mutakhir, paling lengkap,paling sederhana dsb.

Pada perpustakaan yang masih menggunakan kartu katalog, tajuk subjek ditulis dalam huruf besar sesuai dengan kebiasaan untuk membedakannya dari judul. Maka pmbaca dapat membedakan pada kartu katalog bila ada tulisan Soekarno [pengarang], Soekarno [judul]  maka untuk subjek akan ditulis SOEKARNO. Pada perpustakaan yang menggandakan kartu katalognya dengan menggunakan mesin ketik, ada kalanya untuk memisahkan antara pengarang dan judul dengan subjek, maka untuk subjek seringkali diketik dengan pita merah. Pada gambar di bawah ini tertera tajuk subjek.

4.2. Konsep dan struktur tajuk subjek

Tajuk subjek adalah sebuah titik akses ke cantuman bibliografis, terdiri dari sebuah kata atau frase yang menunjukkan subjek dari materi perpustakaan yang termuat dalam butiran bibliografis. Kini analis informasi sudah membedakan antara indeks prakoordinasi dengan indeks pascakoordinasi (periksa Bab 41). Indeks koordinasi memilih istilah yang ditentukan serta menggabungkan atau mengko-ordinasikannya pada waktu pengindeksan atau pada waktu pengolahan materi perpustakaan, sedangkan indeks pascakoordinasi mengkoordinasikan istilah pada waktu penelusuran, jadi dilakukan setelah materi perpustakaan disimpan. Dalam kaitannya dengan kedua jenis indeks tersebut, maka tajuk subjek termasuk indeks prakoordinasi. Tajuk subjek memiliki dua tujuan yaitu :

  1. mengenali materi perpustakaan yang berhubungan mengenai subjek atau topik tertentu;
  2. membantu pemakai menemukan materi perpustakaan tentang subjek yang saling berkaitan.

Kedua tujuan tersebut menimbulkan masalah komunikasi karena harus ada kecocokan antara subjek yang diinginkan oleh pemakai yang ada di benak pemakai dengan subjek yang digunakan perpustakaan untuk menyimpan materi perpustakaan dalam topik atau disiplin tertentu. Hal tersebut tidak menimbulkan masalah manakala ada hubungan satu dengan satu antara konsep dengan kata, artinya ada satu kata yang berkaitan dengan konsep yang terpisah serta satu konsep yang berkaitan dengan satu kata. Dalam kenyatannya ada satu konsep yang dapat diwujudkan oleh berbagai kata dan satu konsep yang tidak memiliki ekuivalen dalam bahasa sehari-hari. Contoh binatang berkaki empat yang kita kenal sebagai sapi ternyata memiliki padanan kata lain seperti lembu, jawi; sebaliknya sebutan “gurih” sulit diwujudkan dalam bentuk uraian yang dapat diterima oleh banyak pemakai.

4.3. Pemilihan tajuk subjek

Ilmu bahasa (linguistik) menentukan bentuk yang benar dari bahasa sehari-hari, namun demikian bahasa selalu berubah. Bahasa berubah karena tanggapan terhadap temuan dan formulasi pengetahuan, tanggapan dinamis terhadap kakas dari bahasa itu sendiri.  Dalam memilih istilah subjek, pustakawan mempertimbangkan penggunaan penulis buku dan kebutuhan serta preferensi pemakai perpustakaan.  Pengarang buku dan pemakai perpustakan cenderung menggunakan istilah yang berbeda. Bila tidak ada daftar tajuk subjek,besar  kemungkinan pustakawan menggunakan dua tajuk subjek untuk konsep yang sama.

4.4. 1. Memilih sebuah istilah dari berbagai ekuivalen verbal.

Pustakawan atau penyusun daftar tajuk subjek harus memilih satu istilah subjek dari berbagai sinonim atau istilah yang sangat sama. Maka perlu urutan preferensi ketika memilih dari berbagai tajuk sinonim sebagai yaitu istilah paling lazim bagi publik. Sebagai contoh Daftar tajuk subyek untuk perpustakaan ciptaan Perpustakaan Nasional  dirancang untuk perpustakaan umum sedangkan Daftar tajuk subjek Universitas Indonesia dirancang untuk perpustakaan perguruan tinggi.

    4.4.2. Istilah di perpustakaan lain

Karena adanya berbagai jenis perpustakaan, maka istilah yang digunakan antara satu jenis perpustakaan dengan jenis perpustakaan lain akan berbeda. Karena perpustakaan umum berada di berbagai tempat, misalnya perpustakaan umum kabupaten, kota dan desa, maka ada kemungkinan pemakai mengunjungi berbagai perpustakaan umum. Karena mengunjungi banyak perpustakaan umum, maka pemakai akan merasa nyaman bila dia menemukan terminologi yang sama pada berbagai katalog perpustakaan. Beberapa ketentuan yang digunakan:

  1. Istilah yang memiliki makna paling sedikit.  Maksudnya untuk menghindari ambiguitas atau ketaksaan.
  2. Istilah yang muncul pertama kali dalam alfabet. Prinsip ini bersifat  prosedural walaupun sifatnya agak menimbulkan pertentangan namun  sesuai digunakan bila pertimbangan lain sudah tidak ada.
  3. Memilih istilah yang mampu mengarahkan ke subjek lain yang dekat dan berhubungan. Dalam susunan istilah subjek menurut abjad akan dijumpai kekurangan bahwa istilah yang berkaitan akan tersebar karena susunan menurut abjad. Karena kekurangan tersebut maka digunakan prinsip pemilihan istilah yang mampu mendekatkan ke subjek yang berhubungan.

   4.4. 3. Pemilihan istilah yang terdiri dari lebih dari satu kata.

Beberapa konsep hanya dapat diungkapkan dalam lebih dari satu kata atau hanya dapat diungkapkan dalam bentuk frase artinya kombinasi berbagai kata. Tajuk berupa frase memiliki kelemahan. Umumnya pemakai mencari dalam katalog subjek yang diunggkapkan dalam satu kata walaupun frase juga digunakan dalam bahasa sehari-hari.

Menyangkut frase timbul masalah menyangkut urutan kata. Apakah disusun menurut bahasa sehari-hari ataukah dilakukan modifikasi supaya jelas dan singkat.  Apakah susunannya seperti bahasa sehari-hari ataukah perlu susunanya dibalik untuk memperoleh tajuk yang berkaitan. Misalnya  WANITA SEBAGAI ILMUWAN  dan WANITA SEBAGAI HAKIM  ataukah diubah menjadi ILMUWAN, WANITA SEBAGAI dan HAKIM, WANITA SEBAGAI.

   4.4.4.  Jumlah tajuk subjek

Jumlah tajuk subjek yang digunakan untuk sebuah buku tergantung pada banyak faktor. Pada perpustakaan umum yang menggunakan kartu katalog, penambahan tajuk subjek akan menambah ketebalan jajaran kartu. Bila laci katalog semakin penuh karena perpustakaan menggunakan banyak tajuk subjek, maka pustakawan mengalami kesuklitan menjajarkan kartu, pemakai mungkin kecewa karena harus pindah dari satu laci ke laci lain. Sebailknya bila perpustakaan menggunakan banyak tajuk subjek untuk sebuah buku, maka pemakai akan terbantu karena dia dapat mengakses dari berbagai pendekatan serta koleksi perpustakaan semakin terekpos dan semakin tersedia.

5. Penjajaran (filing)

Bila pembaca mengunjungi perpustakaan atau memeriksa sebuah kamus maupun ensiklopedia, maka pembaca akan menjumpai penjajaran (filing) yang tampak sedikit membingungkan. Misalnya pembaca ingin mengetahui entri mengenai Bung Karno yang terdapat di perpustakaan. Untuk keperluan itu pembaca harus menggunakan katalog. Pembaca mungkin mencarinya pada entri Bung, mungkin pada entri Soekarno atau Sukarno (ejaan baru) ataupun mungkin pada Ahmad Soekarno, nama yang lazim dikenal di kalangan wartawan asing. Apapun nama yang dicari, Untuk memudahkan mengakses entri di katalog maka entri yang ada di katalog harus disusun menurut tata susunan tertentu yang bermanfaat bagi pemakai. Proses penyusunan entri di katalog disebut penjajaran.

Penyusunan atau pengorganisasian entri di katalog sebuah perpustakaan mungkin berbeda dengan hal sejenis di perpustakaan lain.  Mungkin pembaca menemui susunan entri menurut abjad, kronologis, geografis ataupun menurut bagan klasifikasi. Di perpustakaan Inggris banyak dijumpai susunan katalog berkelas (classified catalog). Maka dalam susunan tersebut terdapat susunan menurut kartu, menurut abjad pengarang dan judul serta indeks subjek yang disusun menurut prosedur indeks berangkai.

Sebaliknya di perpustakaan Amerika, banyak dijumpai susunan leksikal (dictionary katalog) artinya entri pengarang, judul dan subjek dijajarkan menjadi satu, disusun menurut abjad. Ada pula yang menyusun menurut katalog terbagi (divided catalogue) dalam sistem tersebut terdapat dua susunan entri. Susunan pertama merupakan gabungan entri pengarang dan judul disusun menurut abjad; susunan lain ialah entri subjek disusun menurut abjad. Pada berbagai perpustakaan Indonesia, banyak yang menggunakan katalog terbagi.

Penjajaran menurut abjad mungkin tampak sederhana, mudah dilakukan. Dalam kenyatannya penjajaran menurut abjad tidaklah sesederhana seperti banyak anggapan orang. Kalau entri yang dijajarkan tidaklah banyak, biasanya tidak banyak kesulitan. Namun kalau entri yang dijajarkan sudah mencapai ribuan, maka masalah yang dijumpai akan berlipat ganda. Untuk melaksanakan penjajaran, maka selama ini beberapa peraturan penjajarantelah dibuat.

5. 2. Peraturan penjajaran

Banyak perpustakaan tidak berpegang teguh pada sebuah peraturan penjajaran, banyak di antaranya yang melakukan modifikasi. Apapun peraturan yang dianut, lazimnya dikenal dua metode penjajaran berdasarkan abjad. Adapun kedua metode itu ialah penjajaran kata-demi-kata dan huruf-demi-huruf.  Penjajaran huruf demi huruf artinya formasi kata dalam tajuk diabaikan. Setiap huruf berikut berikutnya diperhitungkan kedudukannya dalam penjajaran. Pada metode  kata demi kata, setiap kata dipertimbangkan namun terbatas pada kata tersebut saja.

Pada ensiklopedia, kamus maupun buku rujukan lainnya lazimnya digunakan metode penjajaran kata demi kata. Antara kedua metode terdapat perbedaan hakiki. Sebagai contoh pada penjajaran berdasarkan metode kata demi kata, istilah “Mata kaki” mendahului istilah “matahari”. Padahal kalau menurut metode penjajaran huruf demi huruf, maka istilah “matahari” mendahului “mata kaki”. Pada metode kata demi kata, ruang kosong antara kata-kata memiliki nilai penjajaran mendahului setiap huruf atau angka yang ada di belakangnya. Praktek ini dikenal dengan istilah “nothing before something”. Pada kata kedua dan selanjutnya diperlakukan sebagai kata kedua. Berikut ini contoh penjajaran menggunakan kedua metode.

Huruf demi huruf

Kata demi kata

child allowances

child allowances

childbirth

child guidance

child guidance

child psychology

childhood diseases

child welfare

childkilling

childbirth

child psychology

childhood diseases

children in care

childkilling

children’s games

children in care

children’s literature

children’s games

child welfare

children’s literature

Dalam karya Charles Ammi Cutter berjudul Rules for a dictionary catalog terdapat peraturan penjajaran. Peraturan ini dikembangkan sesuai dengan gagasannha mengenai katalog leksikal (dictionary catalogue). Prinsip utama ialah urutan menurut abjadserta penjajaran menjadi satu dari entri pengarang, judul dan subjek. Kadang-kadang ciri tertentu dari pengelompokan berkelas diserrtakan sehingga penjajaran menurut Cutter tidak sepenuhnya menurut abjad.

   5.2.1. ALA (1942)

Edisi pertama ALA Rules for Filing Catalog Cards pada hakekatnya merupakan ringkasanberbagai metode penjajaran yang diterapkan di berbagai perpustakaan Amerika pada masa itu. Karena tidak ada konsensus di antara perpustakaan, maka hampir 60% peraturan merupakan peraturan alternatif. Banyak dari peraturan tersebut menyertakan pengelompokkan berkelas dalam urutan abjad. Hal ini menimbulkan kesulitan sehingga peraturan ALA sulit diikuti pustakawan.

   5.2.2.  Library of Congress (1956)

Semula peraturan berjudul Filing rules for the dictionary catalogs of the Library of Congress hanya dipergunakan untuk keperluan Library of Congress (Amerika Serikat) saja. Namun peraturan tersebut kemudian ditiru oleh perpustakaan lain. Peraturan tersebut tidak sepenuhnya menurut abjad karena dalam antarpenjajaran (interfiling) terdapat ketentuan khusus mengenai berbagai jenis entri serta pengelompokan tajuk subjek.

   5.2.3.  ALA (1968)

Karena munculnya desakan dari pustakawan akan perlunya sebuah peraturan penjajaran yang sederhana serta perkembangan peraturan pengkatalogan pada tahun 1960an, maka muncullah edisi kedua dari ALA rules for filing catalog cards. Edisi ini menekankan pentingnya korelasi antara pembentukan tajuk dengan tata susunan penjajaran. Tajuk dijajarkan sesuai dengan yang tertulis tanpa memperhatikan sisipan mental, pengurangan maupun transposisi. Prinsip utama ialah tata susunan abjad (dengan mengabaikan tanda baca) serta beberapa pengecualian kecil. Pengecualian utama ialah entri nama keluarga perorangan dikelompokkan menjadi satu serta dijajarkan sebelum entri lain yang memiliki kata sama atau kombinasi kata-kata. Jadi entri Soekarno sebagai pengarang mendahului entri Soekarno (judul) ataupun SOEKARNO (sebagai subjek),

   5.2.4. ALA Abridged (1968)

Peraturan ini merupakan ringkasan peraturan penjajaran ALA 1968. ALA abridged  berisi peraturan yang sama dengan versi edisi lengkap. Bedanya hanyalah  bahan yang sangat khusus serta penjelasan tidak dimuat dalam versi ringkas. Edisi ini dimaksudkan untuk katalog perpustakaan umum yang kecil ataupun sedang.

   5.2.5. ALA Filing Rules (1980).

Peraturan penjajaran ini dibuat sebagai tanggapan atas kritik yang mengatakan praktek penjajaran tradisional sebagai terlalu rumit, terlalu kaku serta terlalu memperhatikan perbedaan teoritis yang baik. Maka disusunlah peraturan yang baru yang keluar pada tahun 1980. Bila dibandingkan hasil peraturan ALA Rules (1942), ALA Rules (1968) seerta ALA Filing Rules (1980) atas entri yang sama maka hasilnya nampak sebagai berikut.

Tabel 1. Perbandingan hasil penjajaran 3 peraturan

ALA Rules 1942 ALA Rules 1968 ALA Filing Rules 1980
Love, David T. Love, David T. Love [judul]
LOVE, DAVID T. LOVE, DAVID T. LOVE [subjek]
Love, Zachary Love, Zachary Love and beauty
The Love Corp. LOVE [subjek] The Love Corp.
Love County (Okla.) Love [judul] Love Country (Okla)
LOVE [subjek] Love and beauty Love, David T.
LOVE – LETTERS The Love Corp. LOVE, DAVID T.
LOVE – QUOTATIONS Love Country (Okla0 LOVE –LETTERS
LOVE, MATERIAL LOVE – LETTERS LOVE, MATERIAL
LOVE (THEOLOGY) LOVE, MATERIAL LOVE POETRY
Love [judul] LOVE POETRY LOVE – QUOTATIONS
Love and beauty LOVE – QUOTATIONS Love songs,old and new
LOVE POETRY Love songs, old and new LOVE (THEOLOGY)
Love songs, old and new LOVE (THEOLOGY) Love your neighbor
Love your neighor Love your neighbor Love, Zachary

ALA Rules 1942 menanggapi berbagai praktek penjajaran termasuk berbagai alternatif dan varian. ALA Rules 1968 mencoba menyederhanakan peraturan dengan mencoba menyusun peraturan yang sederhana dan konsistn dengan pengecualian ditekan serendah mungkin. ALA Filing Rules 1968 lebih menyederhanakan peraturan penjajaran dengan cara menghilangkan pengecualian. Pembaca perlu memperhatikan bahwa peraturan penjajaran di atas adalah peratura penjajaran manual.

Bila penjajaran dilakukan dengan komputer maka hasilnya akan berbeda karena komputer hanya mengenal huruf, angka dan ruang kosong. Khusus untuk Library of Congress Filing Rules dibuat dengan mempertimbangkan komputerisasi katalog sehingga dibuat sebuah program komputer yang digunakan di Library of Congress berdasarkan Library of Congress Filing Rules.

   5.2.6. Library of Congress (1971)

Peraturan Library of Congress tahun 1956 ditujukan untuk kartu katalog serta tidak cocok untuk penjajaran komputer. Penjajaran komputer membedakan huruf besar dengan huruf kecil,angkadijajarkan menurut angka sedangkan pada peraturan oleh manusia angka dijajarkan sebagaimana dilafalkan. Misalnya 1001 dijajarkan pada huruf s karena dilafal sebagai seribu satu. Maka dikembangkan peraturan penjajaran baru Library of Congress dengan tujuan : penelusuran bahan pustaka dengan berbekal informasi lengkap; penelusuran bahan pustaka berbekal informasi tidak lengkap atau tidak pasti serta “browsing”. Prinsip utama peraturan baru ini ialah :

  1. elemen dalam sebuah tajuk diperlakukan sebagai bentuk dan tata susunannya  dalam tajuk
  2. entri berkaitan hendaknya dijadikan satu dengan pertimbangan pemakai sulit menemukanny karena tidak mengetahui bentuknya yang pasti
  3. himpunan ruas baku perlu ditetapkan bagi masing-masing jenis entri penjajaran. Peraturan ini digunakan di Library of Congress untuk katalognya serta jajaran hasil komputer.  Misalnya dalam Library of Congress Subject Headings dan Library of Congress Catalogs : Film and Other Materials for Projection.

   5.2.7 Indonesia

Hingga kini belum ada peraturan penjajaran yang dibuat oleh Perpustakaan Nasional maupun Ikatan Pustakawan Indonesia. Bagi pustakawan Indonesia dapat menggunakan karya L.K. Somadikarta berjudul Peraturan penjajaran.

   5.3. Masalah dalam penjajaran

Walaupun pekerjaan penjajaran tampak seperti pekerjaan sederhana, namun dalam praktek banyak hambatan. Terutama menyangkut penyusunan entri katalog yang memelrukan modifikasi terhadap prinsip dasarpenjajaran untuk membuat agar katalog benar-benar bermanfaat bagi pemakai.

   5.3.1. Berbagai jenis entri dimulai dengan kata yang sama

Seringkali tajuk berbagai jenis entri (pengarang, judul, subjek) dimulai dengan kata yang sama. Misalnya kata seperti “Jakarta”, “Soekarno”, “Indonesia” dapat tampil sebagai entri pengarang atau judul atau subjek. Dalam hal terdapat entri dimulai dengan kata yang sama muncul masalah ditinjau dari segi kepentingan pemakai. Masalah tersebut ialah apakah menyusun semua entri menurut abjad ataukah mengelompokkan masing-masing entri menurut jenisnya (pengarang, judul, subjek) kemudian menyusun lagi menurut abjad dalam kelompok masing-masing.

Dalam hal ini berbagai peraturan mengeluarkan ketentuan yang berlainan. Masalah ini makin rumit lagi dengan adanya  entri pengarang atau entri subjek yang mulai dengan kata sama, terutama menyangkut entri pengarang, badan korporasi dan geografis.

Menyangkut nama pribadi, timbul masalah mengenai berbagai jenis tajuk nama pribadi seperti nama majemuk, nama dengan awalan, nama diri (tanpa nama keluarga), gelar, panggilan dan sejenisnya.

   5.3.2. Singkatan

Inisial diperlakukan sebagai kata yang terpisah, masing-masing terdiri dari satu huruf. Contoh U.N.O., P.K.B.I. Akronim diperlakukan sebagai satu kata, bukan sebagai inisial. Contoh Pertamina dll. Timbul masalah bilamana pustakawan tidak dapat menentukan apakah kumpulan huruf yang dijumpainya merupakan akronim atau inisial. Contohnya seperti RPKAD, Unesco.

   5.3.3. Bilangan

Entri bilangandijajarkan dalam urutan terpisah dari jajaran abjad. Bila dijajarkan dalam abjad, maka bilangan itu dijajarkan menurut ejaan dalam bahasa karya masing-masing (misalnya 1200 dijajarkan seperti seribu dua ratus). Penjajaran menurut ucapannya memang lazim dilakukan dengan pengecualian bilangan pada nama seperti Hamengku Buwono IX dan Henry II, dijajarkan sebagai Hamengku Buwono 10 dan Henry 2, bukannya Hamengku  Buwono Kaping  Sedoso  atau Henry the Second.   

5.3.4. “Diacritical marks”

Yang termasuk diacritical mark adalah umlaut, accent’aigu, diereses dan lain-lainnya. Peraturan penjajaran pun berbeda-beda aturannya. Pada huruf tertentu, ada kesamaan pendapat seperti u mungkin dijajarkan sebagai u atau ue.

Dalam Bahasa Indonesia pun ada kesulitan seperti Oe (Ejaan van Ophuysen) ataukah u (ejaan Soewandi). Kesulitan ini lebih rumit dengan nama pengarang Cina yang dimulai dengan huruf Oe seperti Oey.

   5. 3.5. Tanda dan simbol

Tanda nonalfabetik dan non-numerik perlu dipertimbangkan dalam penjajaran termasuk tanda baca. Perpustakaan perlu memutuskan ketentuan mengenai nilai tanda baca dalam penjajaran. Peraturan yang ada berbeda-beda ketentuannya.

   5. 3.6. Tajuk subjek

Metode antarjajaran tajuk subjek pun berbeda-beda pada masing-masing peraturan penjajaran. Misalnya dalam ketentuan LC Catalogs : Subject Catalog menghasilkan jajaran sebagai berikut :

Cookery – History

Cookery – Periodicals

Cookery (Horse Meat)

Cookery, American

Cookery, French

Cookery for diabetics

Dari hasil di atas nampak bahwa entri tajuk subjek tidak dijajarkan berdasarkan prinsip abjad sepenuhnya. Sebaliknya entri  atas bila dijajar menurut ALA rulesmenghasilkan hasil sebagai berikut :

Cookery, American

Cookery for diabetics

Cookery, French

Cookery – History

Cookery (Horse Meat)

Cookery – Periodicals

5.4. Penjajaran oleh komputer

Penjajaran yang dilakukan oleh komputer berbeda hasilnya dengan penjajaran yang dilakukan oleh manusia. Hal ini terjadi karena komputer tidak dapat mengeja dan membaca angka misalnya  300 pepatah, oleh manusia dibaca tiga ratus pepata atau 3 lions yang dibaca three lions. Pada tahun 1980an, peraturan penjajaran menyangkut angka diubah. Perubahan itu dilakukan karena kesulitan yang dihadapi pustakawan dan pemakai manakala mereka menjumpai judul atau topik materi perpustakaan yang dimulai dengan angka. Contoh bagimana mengeja angka “41” dalam bahasa Jerman, Perancis, Rusia, Jawa dsb.

Hasilnya akan berbeda. Maka peraturan penjajaran memutuskan angka mendahului teks sehingga materi perpustakaan yang mulai dengan “24 tahun” akan mendahului materi yang berjudul “Dua puluh empat tahun “ atau “Twenty-four years.” Jadi urutan numerikdidahulukan, angka Arab dan angka Romawi dijadikan satu jajaran sehingga misalnya terjadi hasil penjajaran seperti “ 11, XXII, 30” dan seterusnya. Pecahan mendahulu angka bulat jadi ½ mendahului 1. Hal tersebut menimbulkan kesukaran bagi komputer.

Komputer mengenal contoh tersebut sebagai angka sehingga penjajaran oleh komputer akan menempatkan angka terlebih dahulu baru huruf. Maka hasil penjajaran oleh komputer  akan berbeda  dengan penjajaran oleh manusia. Kesulitan lain ialah komputer tidak mengenal angka ½, komputer membacanya sebagai satu-garis miring-dua bukannya satu setengah. Pada contoh di bawah ini, pembaca akan melihat bahwa dalam penjajaran oleh komputer menyangkut angka, komputer menjajarkannya berdasarkan kolom demi kolom serta menganggap angka Romawi sebagai huruf.

Tabel 2 Perbandingan hastawi dengan mesin

Penjajaran hastawi

Susunan  oleh komputer

6 concerti grossi 10 times a poem
9 to 5 1984
10 times a poem 6 concerti grossi
XIXth century drawings 9 to 5
80 hari keliling dunia 80 hari keliling dunia
1984 XIXth century drawings

Komputer juga mengalami kesulitan menyangkut singkatan. Pustakawan dapat mengenali apakah PT berarti perguruan tinggi atau perseroan terbatas; Dr artinya dokter atau doktor. Atau doctor

Masalah tahun pada tajuk subjek juga menjadi kendala pada penjajaran. Pada sisteme penjajaran hastawi (manual), pustakawan menjajarkan  entri secara kronologis, termasuk frase verbal yang mengidentifikasi sebuah periode tertentu. Pustakawan dapat menjajarkan tajuk dalam susunan kronologis namun komputer tidak dapat meliaht “1293-1478” sampai ada tulisan  Majapahit yang mendahului atau mengikuti bilangan lainnya. (Tabel 3).

Tabel 3 Perbandingan penjajaran tajuk disertai angka

 Tahun (penjajaran hastawi)

Tahun (susunan mesin)

Indonesia – Sejarah – Majapahit,1293-

1478

Indonesia-Sejarah-1600
Indonesia  – Sejarah-1600

Indonesia – Sejarah – 1602-1799

Indonesia – Sejarah – 1602-1799

Indonesia – Sejarah – 1900
Indonesia – Sejarah – Penjajahan Inggeris, 1811-1816

Indonesia – Sejarah – 1945-

Indonesia – Sejarah – Cultuurstelsel 1830-1870

Indonesia – Sejarah – Cultuurstelsel 1830-1870

Indonesia – Sejarah – 1900

Indonesia – Sejarah – Majapahit, 1293-1478

Indonesia – Sejarah – 1945

Indonesia – Sejarah – Orde Baru, 1966-1998

Indonesia – Orde Baru, 1966-1968

Indonesia – Sejarah  – Penjajahan Inggeris, 1811-1816

Komputer juga menimbulkan kesulitan bila menjumpai insial dan akornim. Bila inisial dan akronim ditulis dengan tambahan tanda titik atau ada spasi antara tulisan, maka huruf pada  inisial dan akronim diperlakukan sebagai sebuah kata. Jadi entri A B C dijajarkan sebagai “kata” A, “kata” kedua ialah B dan “kata” ketiga ialah C;  sebaliknya ABC diperlakukan sebagai kata tunggal. Contoh :

A.A.

A.D.R.I

A apple pie

A B C programmes

Aa. Maria van der

AAA

Aabel, Marie

Abacus calculating

ABCs of copyrights

Hal tersebut membingungkan pemakai karena pemakai tidak tahu apakah tanda titik atau ruang telah digunakan. Maka pustakawan perlu membantu pemakai untuk menentukan apakah titik akses sudah ada bagi tajuk yang menggunakan dan tidak menggunakan ruang.

Kata sandang dan  elisi (peniadaan bunyi dalam ucapan) juga menimbulkan kesulitan. Kata sandang yang muncul pada awal sebuah tajuk tidak diperlakukan sebagai bagian penjajaran, dengan kata lain kata sandang ditulis dalam tajuk namun tidak diperhitungkan dalam penjajaran. Contoh kata sandang ialah “a, an,”the”, der’, die, das, les, los dan sejenisnya. Sistem komputer tidak mungkin menyimpan daftar kata sandang dalam semua bahasa karena alasan (1) beberapa kata sandang merupakan kata biasa dalam bahasa asing, misalnya die dalam bahasa Jerman  akan berbeda dengan kata die dalam bahasa Inggeris ;dan (2) bila kata sandang merupakan bagian dari nama diri, maka nama diri dijajarkan pada kata sandang, Contoh :

Los Angeles custodios  [judul pada A]

Los Angeles in reality  [judul pada huruf L]

Los Angeles Nar Association [badan korporasi pada huruf  l]

L’enfant abandonee [judul pada huruf E]

L’Enfant, Edouard [nama diri pada huruf L]

Pada sistem komputer dan komputer terpasang (online), pemakai perlu memahami susunan yang digunakan. Dalam hal ini pustakawan perlu membantu menjelaskan bagaimana hasil penelusuran bila menggunakan sistem komputer, hasilnya mungkin berbeda dengan penelusuran hastawi karena sistem penjajaran yang berlainan. Pada beberapa pangkalan data, untuk memudahkan peneleusuran, dibuatkan stop list artinya daftar kata yang tidak dibaca doleh komputer walaupun merupakan bagian judul. Contoh dalam stop list ialah the, a, en, el dan seterusnya, disesuaikan dengan kaidah bahasa masing-masing. Untuk Bahasa Indonesia, hal tersebut tidak dikenal.

6. Pengorganisasian  materi perpustakaan  berbantuan komputer.

Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) maka perpustakaan dapat memanfaatkan TIK untuk pengorganisasian materi perpustakaan. Dalam kaitannya dengan deskripsi, maka perpustakaan menggunakan format deskripsi untuk katalog terbacakan emsin. Format tersebut dikenal dengan nama Machine-Readable Catalogue disingkat MaRC.

MARC singkatan dari Machine Readable Catalogue(ing)  merupakan sebuah format untuk menampung data bibliografis yang dikaitkan dengan bahan pustaka atau materi perpustakaan.  Machine-Readable Cataloguing dimulai pada tahun 1966 sebagai sebuah percobaan oleh Library of Congress. Cantuman bibliografis pada puta terbacakan mesin dibagi-bagikan setiap minggu kepada  16 perpustakaan Amerika yang menggunakan fasilitas komputasi masing-masing untuk mengolahnya. Pada masa itu luaran bentuk yang paling lazim ialah  kartu katalog.

Pada tahun 1967, dikenalkan format MARC II yang didisain untuk mengatasi berbagai kekurangan yang dihadapi pafa MARC awal. Setiap cantuman dapat mengakomodasi sejumlah besar data bibluografis dalam bentuk terbacakan mesin. Cantuman yang baru juga memuat notasi Dewey Decimal Classification sementara versi sebelumnya hanyalah Library of Congress Classification. Pemuatan notasi DDC sebagai antisipasi bahwa MARC II akan digunakan lebih luas serta tuntutan tidak langsung dari perpustakaan yang menggunakan DDC MARC II juga mulai menggunakan deskripsi berdasarkan AACR 2. Tambahan lain pada MARC II ialah perbaikan tajuk subjek.

Tahun 1969 The British Library mulai mengembangkan UKMARC. Pita terbacakan mesin yang dipencarkan oleh British Library mencakup berbagai jenis bahan pustaka (monograf, terbitan berser,materi audio-visual). Veersi UKMARC kemudian menjadi standar internasional, diadopsi oleh khususnya di Australia, Canada, Prancis dan Skandinavia. Edisi ketiga UK MARC terbit tahun 1990. Sejak tahun 1994diadakan pertemuan berkala 3 perpustakaan yaitu Bristih Library, Library of Congress dan National Library of Canada untuk keserasian format MARC, mengupayakan agar perkembangan masa mendatang mempertimbangkan standar internasional serta perkembangan teknologi.

Seusai UKMARC muncul berbagai MARC versi masing-masing negara, lazimnya didahului dengan singkatan nama negara diikuti sebutan MARC misalnya MALMARC, SINGMARC, THAIMARC, kemudian INDOMARC.

6.2. Cantuman MARC

Cantuman MARC lazimnya terdiri dari 2 seksi, seksi pertama ialah (1) cantuman label berisi instruksi  dan informasi pengolahan seperti  panjang cantuman, status ~, jenis ~, jenis bahan pustaka  dll.; (2)  direktori cantuman  yang merupakan indeks dan ruas data dalam sebuah cantuman,  dan (3) ruas kendali, merupakan masukan pengkatalog menyangkut  ruas panjang tetap dan terdiri dari data tahun, negara  terbitan, bahasa dll.

Content designator menstruktur data kedalam ruas dan subruas. Ruas dikenali dengan tengara tiga digit yang mewakili elemen cantuman bibliografis serta titik akses. Adapun ruas tersebut ialah

001 – 009        Ruas kendali

010 – 099        Ruas keterangan kendali, nomor dan kode

100 – 1XX       Entri utama dan titik akses

200 – 24X       Ruas judul  dan ruas yang terkait

259 – 29X       Edisi, impresum, dsb

300 – 399        Deskripsi fisik. Ditulis juga 3XX

400 -499          Pernyataan seri

500 – 599        Catatan

600 – 699        Ruas akses subjek

700 – 799        Titik akses entri tambahan atau cukup entri tambahan

800 – 899        Titik akses seri atau entri tambahan seri

850                  Informasi kepemilikan

900 – 948        Penunjukan, rujukan

949 – 999        Ditandon untuk implementasi lokal

7. Metadata

Seiring dengan berkembangnya World Wide Web serta tersedianya sumber daya informasi dan data yang tidak selalu terbatas pada kartu katalog berukuran 7.5 x 12.5cm maka timbul pertanyaan tentang masa depan MARC. MARC tetap merupakan standar untuk data bibliografis tradisional di perpustakaan namun kurang cocok untuk deskripsi  isi sumber daya elektronik atau alat bantu kearsipan.

   7.1. Definisi metadata

Berbagai sumber mengatakan bahwa metadata artinya data tentang data (Gritton 1994).  Definisi tersebut tidak selalu menimbulkan kemudahan, karena tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan data tentang data.  Ada yang mengatakan bahwa metadata merupakan dokumentasi tentang dokumen  dan objek. Metadata mendeskripsikan sumber, menunjukkan di mana lokasi dokumen serta memberikan ringkasan apa yang diperlukan untuk memanfaatkannya.

Definisi yang diberikan oleh World Wide Web Consortium (1998) menyatakan metadata sebagai mesin yang dapat memahami informasi tentang objek Web serta menyatakan bahwa metadata dapat dikembangkan ke sumber daya elektronik (electronic resources) lainnya pada masa depan. Ng et al (1997) memberikan definisi operasional metadata sebagai data yang merinci karakteristik  data sumber, mendeskripsikan hubungannya serta menunjang penemuan dan penggunaannya yang efektif. Dengan meninjau berbagai definisi di atas maka metadata adalah data yang mendeskripsikan atribut sebuah sumber daya, mencirikan hubungannya, menunjang penemuannya dan penggunaannya secara efektif serta berada di lingkungan elektronik. Metadata biasanya terdiri atas himpunan unsur data, masing-masing elemen (unsur) memeri (mendeskripsi) atribut sumber daya, manajemennya atau penggunaannya.

Pengertian metadata seperti diuraikan di atas mungkin masih kabur bagi banyak pustakawan.  Namun kalau dikatakan bahwa beberapa skema metadata telah lama digunakan oleh pustakawan seperti  metadata yang paling terkenal yaitu MARC dan INDOMARC maka pustakawan mulai dapat membayangkan apa yang dimaksud dengan metadata. Contoh metadata lainnya ialah format katalog AACR2, daftar tajuk subjek (semacam Library of Congress Subject Headings) serta skema klasifikasi seperti DDC,UDC dan sejenisnya (Chowdhury 1999).

Setiap skema dirancang oleh pakar dalam bidang masing-masing dengan mempertimbangkan domain spesifik, kebutuhan sumber daya informasi dan persyaratan untuk pendeskripsian sebuah dokumen. Semua skema itu digunakan untuk akses bibliografi dan kontrol di perpustakaan, pusat dokumentasi, pusat analisis informasi dan lain-lainnya yang kesemuanya itu merupakan badan informasi (Sulistyo-Basuki 2000).

Secara umum ada 3 bagian yang digunakan untuk membuat metadata bagi sebuah paket informasi. Adapun ketiga bagian itu ialah (1) penyandian (encoding), (2) pembuatan deskripsi paket informasi bersama dengan informasi lain yang diperlukan untuk manajemen dan preservasi paket dan (3) penyediaan akses terhadap deskripsi tersebut. Karena keterbatasan waktu dan tempat maka makalah ini membahas tentang deskripsi saja, tidak mencakup penyandian maupun akses.

Pengkatalogan Web atau pengorganisasin sumber daya elektronik dan Internet semakin lama semakin terasa penting. Semula pengkatalogan sumber daya elektronik dan Internet dilakukan dengan menggunakan deskripsi bibliograis berdasarkan MARC dan AACR2. Namun dalam perkembangan selanjutnya ditambahkan elemen deskripsi baru sehingga tumbuh de facto  standar formal.*

Maka muncullah Dublin Core Metadata Initiative, dimulai oleh OCLC danNational Center for Supercomputing (NCA) (lihat juga bab 50) pada pertengahan tahun 1990an sebagai upaya mengembangkan himpunan inti semantika untuk sumber daya berbasis Web sehingga temu balik dan akses lebih cepat Kelompok kerja yang melibatkan berbagai kelompok interdisip.lin dan internasional menghasilkan naskah standar Z.39.85-200 dikenal sebagai Dublin Core Metadata Elemen Set.

Dublin Core memusatkan pada deskripsi sumber daya digital dan berbasis Web serta informasi deskrptif mengenai setiap jenis sumber daya dengan tidak memandang format maupun medianya. Adanmya standar OpenURL memungkinkan memperluas konsep deskripsi kearah sintaks baku untuk mendeskripsi paket metadata bibliografis terangkutkan Web serta pengenal (identifiers) mengenai objek informasi antara berbagai sistem penyedia informasi yang berbeda-beda.

Di samping itu masih ada dua lagi spesifikasi yaitu Encoded Archival description Document Type Definition (EAD DTD) dan Text Encoding and Interchange Document Type Definition (TEI DTD, merupakan Standard Generalized Markup Language yang mampu mengawasandi standar untuk alat bantu temu terbacakan mesin dan teks elektronik yang diciptakan oleh arsip, perpustakaan dan museum. EAD DTD diawasi oleh MARC Standards Office, Library of Congress  dan Society of  American Archivists. TEI DTD dikembangkan oleh 4 universitas internasional dan ditaja (sponsor) oleh konsorsium Text Encoding Initiative yang terdiri dari Association for Computers and Humanities, Association for Computational Linguistics dan Association for Literary and Linguistic Computing.

Dublin Core, EAD dan TEI dikembangkan pada pertengahan dasawarsa 90an. Spesifikasi EAD mendekati format MARC 21 sedangkan spesifikasi TEI merupakan kelengkapan MARC21.

   7.3. Fungsi metadata

Berdasarkan definisi metadata yang ada, maka dapat dibuat standar atau skema metadata berdasarkan provenans (asal usul), bentuk, fungsi, statistik penggunaan, syarat dan ketentuan penggunaan, data adminsitratif, peringkat atau rating isi, kaitan atau hubungan data, data struktural dan sebagainya. Keputusan menyangkut bagian mana yang akan dicakup tergantung pada pemahaman disainer sistem mengenai fungsi primer skema metadata.

Salah satu fungsi utama metadata ialah penemuan sumber (resource discovery). Di lingkungan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, kegiatan operasional ditekankan  pada penelusuran, temu balik, penemuan (discovery) dan akses ke sumber daya. Menurut Rao (1995) mengatakan bahwa  kegunaan utama metadata ialah menunjang pemilihan, pemahaman, pendayagunaan dan pengingatan sumber dan isinya. Khususnya metadata memungkinkan mekanisme yang efektif untuk mengenali dan mengetahui lokasi data yang relevan dengan pemakai. Metadata memungkinkan pemakai untuk menentukan:

  1. ketersediaan informasi (apakah objek informasi itu ada atau eksis? Di manakah letaknya? Berapakah yang tersedia? Apakah kesemuanya itu sama?)
  2. kegunaan informasi (apakah otentik? Apakah baik? Bagaimana pemakai dapat menentukan apakah berguna atau tidak?)

Bila komunitas Ilmu Perpustakaan dan Informasi memusatkan pada fungsi menemukan dan menelusur dan temu balik sumber daya, maka komunitas manajemen data berorientasi ilmu komputer memfokuskan pada aspek  penggunaan data. Pengarsipan data dari segi ilmu komputer memerlukan skema untuk mendeskripsi struktur data logis atau konseptual dari semua objek atau maujud (entitas) yang berkaitan dengan arsip serta hubungan antara data (Strawman and Bretherton 1994).  Strawman dan Bretherton berpendapat bahwa dengan konteks yang jelas dan terstruktur maka perbedaan antara data dengan metadata tidak ada lagi. Jadi menurut perspektif ini maka perbedaan antara metadata dengan data adalah penggunaannya saja.

Fokus selanjutnya diarahkan ke tugas memberi batasan tentang konteks. Konteks ini meliputi berbagai persyaratan fungsional seperti fungsi administratif (misalnya au(o) tentifikasi pemakai dan mekanisme pembayaran), fungsi penentuan isi (misalnya analisis data untuk menunjang pemahaman tentang makna data), fungsi semantik sintaktik (misalnya pengembangan struktur rekod atau cantuman) dan reorganisasi data untuk penyajian dan visualisasi. Konteks yang berlainan menekankan fungsi yang berbeda-beda. Hunter dan Springmeyer menyatakan bahwa fungsi dasar metadata ialah membantu manajemen data dan sistem penyimpanan dalam menyediakan akses yang lebih efisien ke himpunan data yang besar. Strebel (1994) mengatakan adanya 3 fungsi metadata yaitu (a) manajemen data; (b) akses data dan (c) analisis data.

Fungsi metadata juga dapat dikaitkan dengan aras sistem dan tingkat pemakai. Pada tingkat sistem, metadata dapat digunakan untuk memudahkan interoperasional dan keterbagian di antara berbagi sarana penemuan sumber daya. Berbagi data akan mempercepat penyelesaian proyek, meningkatkan pemanfaatan penelitian dan pengambilan keputusan serta mengurangi biaya dengan cara meminimumkan upaya duplikasi. Berpatungan data juga menunjang integrasi sumber daya Internet dan materi tercetak yang sudah diwakili dalam format terbacakan mesin. Pada tingkat pemakai, metadata memudahkan kemampuan untuk menentukan (1) data apa yang tersedia; (2) apakah data tersebut memenuhi kebutuhan tertentu; (3) bagaimana memperolehnya dan (4) bagaimana mentransfernya ke sistem setempat.

   7.4.Cantuman bibliografis, surogat, metadata

Cantuman bibliografis (bibliographic record) merupakan istilah yang diterapkan terhadap paket informasi tak teruraikan seperti buku dan rekaman suara. Walaupun kini diterapkan juga terhadap cantuman untuk gambar hidup, rekaman suara, berkas komputer dsb., namun karena ada istilah bibliografi yang berasal dari kata biblio artinya buku, tetap saja istilah tersebut menimbulkan alergi bagi pihak nonpustakawan.

Ada yang menggantikannya dengan cantuman surogat atau rekod surogat. Istilah tersebut dapat digunakan untuk cantuman atau rekod yang mewakili setiap jenis paket informasi dalam setiap jenis sistem temu balik informasi. Pada makalah ini cantuman atau rekod surogat digunakan sebagai deskripsi dan akses terhadap isi sebuah cantuman metadata.

Cantuman surogat adalah penyajian karakteristik sebuah paket informasi. Karakteristik tersebut meliputi data deskriptif dan titik akses. Cantuman merupakan pemerian  paket informasi dalam sistem temu balik informasi seperti katalog, indeks, bibliografi, mesin telusur (search engines). Paket informasi merupakan contoh informasi terekam seperti buku, artikel, kaset video, dokumen Internet atau himpunan “halaman elektronik”, rekaman suara, jurnal elektronik dsb.

Data deskriptif adalah data yang berasal dari paket informasi seperti judul, pengarang, edisi, tahun publikasi, catatan yang digunakan untuk mendeskripsinya. Titik akses adalah setiap istilah (kata, tajuk dsb) dalam cantuman surogat yang digunakan untuk menemubalik cantuman. Titik akses seringkali dikeluarkan dari data deskriptif, ditempatkan di bawah kontrol akses.

 7.5. Dublin Core

Dublin Core merupakan singkatan dari Dublin Metadata Core Element Set diciptakan untuk membuat himpunan elemen yang disepakati secara internasional yang dapat “diisi” oleh pembuat dokumen elektronik. Peserta pertemuan Dublin Core berasal dari berbagai bidang (seperti penerbit, spesialis komputer, pustakawan, produsen perangkat lunak) dari berbagai negara termasuk Indonesia serta dibentuk Dublin Core dalam beberapa bahasa termasuk bahasa Indonesia (Prabawa, 1998).

Agar sebuah dokumen memiliki kemampuan swaindeks (self-indexed) maka sekumpulan elemen metadata perlu diidentifikasi sehingga setiap pembuat atau pencipta dokumen elektronik dapat menerapkannya pada dokumen elektronik yang diciptakannya. Dengan berpegang pada sasaran sederhana itu maka muncul upaya menyusun himpunan deskripsi data untuk dokumen  elektronik.

Salah satu himpunan deskripsi elemen metadata itu adalah Dublin Core yang dikembangkan oleh OCLC yang berpusat di Dublin, Ohio.  Dublin core menentukan 15 elemen metadata  berupa :

  1. judul
  2. pencipta atau pembuat (creator)
  3. subjek (katakunci, kosakata teekendali dan klasifikasi)
  4. deskripsi (abstrak dan deskripsi isi)
  5. penerbit
  6. penyumbang (terkecuali pencipta)
  7. tahun
  8. tipe (kategori sumber)
  9. format (HTML, Postscript)
  10. pengenal atau identifier (URL, untaian atau nomor yang digunakan untuk mengenali sumber)
  11. sumber (darimana asal usul sumber daya)
  12. bahasa
  13. hubungan atau kaitannya dengan sumber daya lain
  14. cakupan (spasial  dan atau karakteristik sumber daya)
  15. hak (hubungannya dengan pemberitahuan hak cipta)

Elemen data Dublin core hanya bersifat deskriptif yang memiliki nilai intrinsik. Dengan demikian Dublin core mampu mengurangi atau menghilangkan penggunaan rujukan eksternal (seperti pada peraturan pengkatalogan atau authority files). Elemen data tersebut dapat terluaskan sehingga meliputi informasi khusus tambahan; bersifat bebas dari sintaksis, terulangkan dan dapat diubah melalui qualifiers (keterangan tambahan) untuk memperluas maknanya sampai melewati makna di luar makna yang lazim.

Untuk memungkinkan pembuat cantuman menerapkan metadata, maka  dibuatkan mekanisme untuk menyatukan data dengan dokumen HTML (Hypertext mark up language).

8. Alat bantu yang dapat dimanfaatkan

Sebenarnya tersedia beberapa alat bantu yang dapat dimanfaatkan perpustakaan untuk deskripsi bibliografi. Sarana itu ialah Katalogisasi Dalam Terbitan (KDT) merupakan data bibliografis yang tersedia di balik halaman judul buku, Bibliografi Nasional Indonesia terbitan Perpustakaan Nasional,serta Library of Congres Catalog dengan URL (Uniform Resource Locator) pada http://catalog.loc.gov.

Dari pengalaman di lapangan, sumber yang paling dapat diandalkan adalah Library of Congres Catalog. Data yang tersedia mencakup terbitan dari Indonesia berkat adanya Library of Congres Jakarta Office yang membeli praktis semua terbitan Indonesia, khususnya untuk terbitan perguruan tinggi  ke atas.

9. Penutup

Pengorgansiasian materi perpustakaan   mencakup deskripsi bibliografis, penentuan titik akses, klasifikasi, pemberian tajuk subjek serta penjajaran. Khusus untuk penjajaran hanay berlaku bagi perpustakaan yang masih menggunakan sistem kartu; bila perpustakaan sudah terotomasi maka penjajaran entri idlkaukan secara otomatis berbantuan komputer.

Untuk kemudahan deskrispi bibliografis, perpustakaan dapat menggunakan Library of Congres Catalog selama perpustakaan memiliki akses ke internet. Bagi perpustakaan yang tidak memiliki akses ke internet, terpaksa melakukan deskripsi asli berdasarkan buku yang diolah dityaambah dengan informasi dari KDT dan Bibliografi Nasional Indonesia.

Bibliografi

Khusus untuk deskripsi bibliografi

Anglo-American cataloguing rules/ prepared under the direction of the Joint Steering Committee for Revision of AACR, a committee of the American Library Association…[et al]. 2nd ed, 3002 revision, 2005 update.  Chicago: American Library Association: Ottawa: Canadian Library Association; London: Chatered Institute of Library and Information Professionals, 2005.

Rowley, Jennifer. Organizing knowledge: an introduction to information retrieval. 3rd ed.  Ashgate, 2000.

Taylor, Arlene G. The organization of information.  Rev.9th ed.  Westport, Conn.: Unlimited Libraries , 2004. Unlimited, 1999. Chapter 9 Arrangement and display.

Taylor, Arlene G. Wynar’s Introduction to cataloging and classification. 9th rev ed. Westport, Conn.,: Libraries Unlimited,2004. P:483-492.

Taylor, Arlene G. Wynar’s Introduction to cataloging and classification. 9th rev ed. Westport, Conn.,: Libraries Unlimited,2004. Chapter 1-7

 

Khusus untuk klasifikasi

Rowley, Jennifer. Organizing knowledge: an introduction to information retrieval. 3rd ed.  Ashgate, 2000.

Taylor, Arlene G. The organization of information.  Rev.9th ed.  Westport, Conn.: Unlimited Libraries , 2004. Unlimited, 1999. Chapter 9 Arrangement and display

Taylor, Arlene G. Wynar’s Introduction to cataloging and classification. 9th rev ed. Westport, Conn.,: Libraries Unlimited,2004. P:483-492.

Taylor, Arlene G. Wynar’s Introduction to cataloging and classification. 9th rev ed. Westport, Conn.,: Libraries Unlimited,2004. Bab 8-10.

 

Khusus untuk penjajaran

ALA Filing Rules. Chicago: ALA,1980.

Anglo-American cataloguing rules/ prepared under the direction of the Joint Steering Committee for Revision of AACR, a committee of the American Library Association…[et al]. 2nd ed, 3002 revision, 2005 update.  Chicago: American Library Association: Ottawa: Canadian Library Association; London: Chatered Institute of Library and Information Professionals, 2005.

Rowley, Jennifer. Organizing knowledge: an introduction to information retrieval. 3rd ed.  Ashgate, 2000.

Taylor, Arlene G. The organization of information.  Rev.9th ed.  Westport, Conn.: Unlimited Libraries , 2004. Unlimited, 1999. Chapter 9 Arrangement and display

Taylor, Arlene G. Wynar’s Introduction to cataloging and classification. 9th rev ed. Westport, Conn.,: Libraries Unlimited,2004. P:483-492.


4 Comments

  1. dian says:

    bapa Sulistyo yang terhormat..

    bisakah saya mendapatkan link atu sumber lain yang mengatur tentang pengelolaan koleksi peta, bagaimana pendokumentasian dan klasifikasinya seperti apa..terimakasih

  2. setiawan says:

    prof..materinya bagus sekali…bisa dijadikan rujukan….

  3. terima kasih banyak 🙂

  4. Agatha sudi Setyaningsih says:

    selamat pagi pak Sulis , saya mau nanya apakah mengklasir CD/DVD itu sama dengan mengklasir buku makasih banyak pak

Tinggalkan komentar

Author