Sulistyo-Basuki's Blog

Home » Artikel Ilmiah » Teknologi dan Keterbukaan Informasi dalam Konteks Perpustakaan Digital di Indonesia : Dampaknya dalam Kaitannya dengan Etika Informasi

Teknologi dan Keterbukaan Informasi dalam Konteks Perpustakaan Digital di Indonesia : Dampaknya dalam Kaitannya dengan Etika Informasi

1. Pendahuluan

Bila dilihat dari segi teknologi, maka keberadaan perpustakaan digital dikaitkan dengan teknologi informasi (TI) yang bertautan dengan internet dan world wide web (WWW). Perpustakaan digital di Indonesia mulai sekitar 1990an bersamaan dengan munculnya internet di Indonesia, dipelopori antara lain oleh Ganesha Digital Library (GDL) di ITB.

Perpustakaan digital di Indonesia lazimnya dimulai di lingkungan perpustakaan perguruan tinggi dan khusus, sementara jenis perpustakaan lain 9perpustakaan umum dan sekolah) jauh tertinggal. Maka makalah ini membahas eksistensi perpustakaan digital di lingkungan perpustakaan perguruan tinggi dengan berbagai masalah yang timbul darinya, terutama masalah yang berkaitan dengan masalah etika.

2. Sasaran (Objectives) Perpustakaan Digital

 Adapun sasaran perpustakaan digital ialah:

  • Menangkap, menyimpan, memanipulasi dan mendistribusi informasi “mengenalkan dan menghasilkan jasa baru.”
  • Memiliki pangkalan data dalam CD
  • Menghindari aktivitas rutin dan berulang-ulang
  • Menyediakan fasilitas untuk jaringan dan berbagi sumber daya mengakses jurnal nasional dan internasional yang hanya diterbitkan dalam bentuk terbacakan mesin;
  • Memperbaiki efektivitas biaya kegiatan perpustakaan
  • Menunjang fungsi perpustakaan seperti sirkulasi, kendali serial kontrol akuisisi, pemeliharaan lostik dan pekerjaan rutin rumah tangga perpustakaan serta pengembangan pangkalan data ing-griya (Balasubramanian & Baladhandayutham, 2013)

 

3. Keunggulan Perpustakaan Digital

Sebagai perpustakaan berbasis TI yang berbeda dengan perpustakaan tradisional yang berbasis manual, maka perpustakaan digital memiliki berbagai keunggulan. Keunggulan perpustakaan digital mulai dirasakan publik karena kemampuannya untuk mengakses buku, arsip, dan citra berbagai objek. Keunggulan tersebut berdampak pada eksistensi perpustakaan tradisional mengingat perpustakaan tradisional menghadapi keterbatasan ruangan penyimpanan; maka perpustakaan digital memiliki kemampuan menyimpan informasi karena perpustakaan digital tidak memerlukan ruang penyimpanan yang besar.

Dilihat dari segi biaya, perpustakaan tradisional memerlukan anggaran lebih banyak dibandingkan dengan perpustakaan digital karena perpustakaan harus menganggarkan untuk staf pemeliharaan buku sewa dan buku tambahan. Perpustakaan digital dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan beberapa mata anggaran.

Ciri lain sebuah perpustakaan digital adalah:

  • Tak ada batas fisik. Pemakai perpustakaan digital tidak perlu datang secara fisik ke perpustakaan sebagaimana halnya dengan perpustakaan tradisional, dia dapat akses jarak jauh, Juga pemakai di bagian lain dunia dapat mengakses informasi yang sama sepanjang ada koneksi internet.
  • Ketersediaan informasi setiap saat, sering ditulis 24/7 artinya koleksi perpustakaan digital dapat diakses pemakai 24 jam sehari 7 kali seminggu.
  • Akses jamak (multiple access, akses ganda). Sumber informasi yang sama dapat diakses secara simultan oleh berbagai instansi perseorangan. Hal ini mungkin berbeda dengan materi yang dilindungi hak cipta, mungkin dalam lisensinya hanya diperbolehkan satu kopi sesaat; hal ini dicapai dengan sistem manajemen hak digital tentang periode peminjaman atau setelah peminjam memutuskan untuk membuat materi terlindungi hak cipta, digital tidak dapat diakses, dengan cara mengembalikan sumber daya,
  • Temu balik informasi (information retrieval). Pemakai dapat menggunakan setiap kata pencarian seperti kata, frasa, judul, nama, subjek untuk menelusur seluruh koleksi. Perpustakaan digital mampu menyediakan antarmuka yang bersahabat, cukup dengan mengklik maka pemakai dapat mengakses sumber informasi. Bandingkan dengan perpustakaan digital yang terbatas pada titik akses (pengarang, judul, subjek) serta tidak selalu mampu menggunakan Operator Boole (misal pengarang dan tahun atau judul dan penerbit).
  • Preservasi dan konservasi. Digitalisasi merupakan salah satu bentuk konservasi materi perpustakaan namun tidak tanpa kelemahan. Digitalisasi mampu melindungi materi perpustakaan yang rentan dibuka atau mudah rusak karena digunakan. Koleksi terdigitalisasi dan objek lahir digital menghadapi beberapa masalah, yang tidak ditemukan pada materi analog.

 

4. Masalah dan Isu yang Timbul

Perpustakaan digital sarat dengan teknologi; hal itu mempunyai keuntungan sebagaimana di uraikan di atas, namun di segi lain menimbulkan masalah bersama, atau Isu umum yang muncul akibat TI pada perpustakaan digital. Karena isinya dapat diakses sepanjang hari dan juga sepanjang tahun, oleh pemakai yang tersebar di mana-mana maka dalam perjalanannya perpustakaan digital menimbulkan masalah di samping juga keuntungan sebagai disebutkan di atas.

Adapun masalah yang timbul dari perpustakaan digital ialah masalah privasi, keamanan, kesenjangan digital, informasi yang berlebihan, isu menyangkut membayar atau tidak, pertentangan antara akses dengan kepemilikan, kesenjangan antara lahir digital dengan migran digital, akuntabilitas dan keamanan. Masalah itu semakin meruwak dengan tersedianya fasilitas Internet serta kemajuan TI. Hal itu diuraikan di bawah ini

4.1. Privasi

Penggunaan TI dalam perpustakaan digital menimbulkan masalah privasi diartikan sebagai hak perseorangan (individu) untuk mengendalikan kumpulan dan penggunaan informasi mengenai dirinya (The Privacy Journal). Di perpustakaan digital berbagai informasi mengenai seseorang ditemukan dalam dokumen yang ada di perpustakaan. Di satu pihak, perpustakaan ingin menyebarkan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat sementara di segi lain perpustakaan mempertahankan privasi. Karya menyangkut perseorangan ada yang tidak dibuka untuk umum demi privasi individu.

Privasi ini sering merupakan titik lawan dari hak informasi (right of information) yaitu hak warga untuk memperoleh informasi yang dijamin undang-undang serta merupakan hak asasi. Yang ada di Indonesia adalah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (2008) yang merujuk ke hak publik untuk membaca dan mendapatkan dokumen resmi namun ada pembatasan yang lebih banyak berkaitan dengan keamanan (negara).

Dari segi bisnis, masalah privasi juga merupakan isu yang menonjol karena di satu sisi, informasi mengenai perseorangan dikumpulkan, disimpan, dianalisa dan dilaporkan karena karena lembaga (dalam arti luas mencakup insitutsi, organisasi dalam konteks bahasa Inggris, badan korporasi) menggunakannya untuk mengambil keputusan. Keputusan yang diambil dapat berpengaruh pada individu karena menyangkut keputusan lamaran pekerjaan diterima/ditolak, pinjaman disetujui/tidak disetujui, mendapat beasiswa atau ditolak.

4.2. Keamanan

Keamanan perpustakaan digital tidak selalu terjamin karena tidak ada sistem pengamanan yang benar-benar anti penjebolan. Dalam hal pembibolan terdapat dua istilah yaitu hacker (peretas) dan cracker (pembobol). Ada yang berpendapat bahwa peretas adalah pembobol yang baik, dia tidak merusak berkas yang ada, dapat atau tidak meninggalkan identifikasinya namun menunjukkan ada kelemahan sistem. Menyangkut istilah pembobol memiliki konotasi negatif karena dia membobol sebuah sistem, kemudian mengacaknya. Contoh terkini ialah berbagai situs pemerintah Australia yang dibobol oleh pembobol Indonesia (Kompas, 4 November 2013).

 4.3. Kesenjangan Digital

Kesenjangan digital (digital divide) ialah kesenjangan yang terjadi antara perseorangan dan kelompok masyarakat yang memiliki akses ke TI beserta kelengkapannya dengan perseorangan dan anggota masyarakat yang tidak punya akses ke TI dan segala kemudahannya, Kesenjangan digital dapat dilihat per negara atau internasional, yang disebut kemudian ini dikenal dengan nama kesenjangan digital global.

Untuk Indonesia, pemakai internet mengalami peningkatan, mulai dari 0,5 juta tahun 1998 meningkat menjadi 55 juta tahun 2011, 63 juta tahun 2012, dan proyeksi 82 juta tahun 2013 (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet, 2013).

 4.4. Plagiarisme

 Karena kemudahan TI, adanya akses terbuka dari sebuah perpustakaan digital, kemampuan pengunduhan (downloading) maka plagiarisme mudah dilakukan, baik dengan menggunakan sistem salin temple (copy paste) atau mengubah bagian tertentu sebuah dokumen (digital) kemudian mengklaim sebagai karya tersendiri. Plagiarisme sudah terjadi Indonesia (Tempo, 4 November 2013) namun pihak universitas tidak menyebutkan nama pelaku atau nama pelaku disebutkan inisialnya. Di lingkungan sebuah universitas sangat terkenal di Jakarta juga terjadi plagiarisme, dalam beberapa kasus hal itu diketemukan oleh pustakawan secara tidak sengaja.

Kini tersedia berbagai perangkat lunak untuk mendeteksi plagiarisme, namun kemampuan mencegah plagiarisme dalam bahasa Indonesia perlu penelitian lebih lanjut mengingat selama ini perangkat lunak yang ada dirancang bangun untuk bahasa Inggris.

4.5. Komodisasi Informasi

Selama beberapa masa, ada pertentangan antara informasi yang diperoleh gratis atau informasi berbayar. Buchanan (1999) mengatakan bahwa informasi itu cuma-cuma sudah lewat. Informasi berbayar akan menyebabkan adanya kelompok masyarakat yang tidak terakses informasi dengan mereka yang bisa memperoleh informasi yang diperlukannya. Cummings (1996) mengatakan bahwa nisbah antara kelompok miskin dengan kata pada tahun 1960an adalah 30:1 kini pada tahun 1990an berubah menjadi 60:1. Hal ini dapat diartikan bahwa aliran informasi tidak membawa banyak manfaat sosial bagi kelompok miskin, terlebih bila pemakai akhir ini tidak menguasai aliran informasi atau produk akhir komoditas informasi.

Peningkatan komoditas informasi dari sektor publik ke sektor swasta semakin menyulitkan pemakai informasi karena sektor swasta cenderung bertujuan mencari keuntungan dan kekuasaan. Masalah ini akan tetap berlanjut selama di satu sisi ada pihak yang menginginkan keuntungan dari informasi sementara di pihak lain menginginkan informasi yang tersedia bebas. Jalan tengah perlu dibuat untuk kepentingan semua pihak.

4.6. Kelimpahan Informasi

Kelimpahan informasi dalam bahasa Inggris dikenal sebagai information overload (Toffler, 1970) atau info glut (Floridi, 2010) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai beban lebih informasi, lewat informasi, artinya informasi yang berlimpah-limpah sehingga menyulitkan individu untuk mengambil keputusan. Kelebihan informasi akan mengarah ke kecemasan informasi (information anxiety) artinya kesenjangan antara informasi yang dipahami seseorang dengan informasi yang harus dipahaminya.

Penambahan informasi yang berlebih-lebihan disebabkan juga informasi yang disebarkan oleh news-stories, surat elektronik, blog, media sosial, dan sejenisnya. Media sosial menyebabkan beban lebih informasi (Koroleva,; Krasnova, Gunther) (2010).

Spam merupakan pesan elektronik yang sama yang dikirim sejumlah besar orang dalam upaya mencoba agar menerima surat mau membaca pesan yang diterimanya, padahal tanpa ada spam, banyak orang tidak membaca berita elektronik tersebut. Daya spam sering menyebabkan material yang tidak diinginkan dan tidak disenangi masuk ke kotak pos elektronik seseorang sehingga menyebabkan penerima surat tidak bisa berkomunikasi secara efektif karena berita yang diperlukannya tersembunyi di antara spam.

4.7. Anonimitas Sambung Jaring (Online Anonymity)

Anonimitas dapat digunakan untuk sejumlah hal yang berhubungan seperti ketidakbernamaan (namelessness), melepaskan diri dari sesuatu ketidakterkenalkan kurangnya pengakuan, kehilangan makna identitas atau perasaan sendiri (Wallace, 2008). Dalam penggunaan komputer mendorong perasaaan keanoniman atau anonimitas. Umumnya pemakai menggunakan komputer di rumah atau di kantor. Di kantor walaupun sama-sama satu ruangan, seseorang mengalami kesulitan mengamati apa yang dilakukan orang lain di komputernya. Perasaan bahwa seseorang tidak diketahui atau tidak dikenal mendorong meningkatkan kecenderungan melakukan tindakan tidak etis.

Anonimitas dapat bersifat positif seperti mendorong ekspresi bebas dan pertukaran ide atau melindungi seseorang dari publisitas yang tidak diinginkan. Segi negatifnya ialah menyebarkan rasa benci tanpa diketahui siapa sumbernya, penipuan, dan kejahatan lainnya. Anonimitas dan privasi saling berkaitan dengan anonimitas merupakan salah satu cara untuk menjamin privasi.

Dalam kaitannya dengan informasi, maka pengiriman berita tanpa pengarang atau penulis dapat menimbulkan segi positif maupun negatif; di satu pihak mampu mengungkapkan ide atau pendapat tanpa membahayakan diri si pengirim namun di segi lain dapat menimbulkan kekacauan manakala berita yang dikirim bersifat buruk.

4.8. Preservasi Digital

Koleksi perpustakaan digital tidak saja terdiri dari dokumen (dalam arti luas) sejak awal sudah dalam bentuk digital melainkan juga dokumen yang mengalami alih bentuk. Istilah yang lazim ialah digitalisasi. Alih bentuk dari non digital, misal dokumen cetak ke dokumen digital dikenal dengan nama migrasi; dapat pula bermakna mentransfer objek digital yang tidak stabil ke format yang lebih stabil (Cain, 2003). Dalam praktik di perpustakaan digital mendigitalisasi dokumen cetak ke dokumen digital. Di satu segi, migrasi mampu melestarikan materi cetak yang akan rusak karena penggunaannya, namun di segi lain menimbulkan masalah misalnya bentuk baru tidak mampu menangkap kesatuan lengkap objek semula. Kelemahan paling utama preservasi digital ialah digitalisasi dan migrasi sangat tergantung pada perangkat lunak dan perangkat keras yang tersedia atau masih eksis; bilamana tidak tersedia maka dokumen digital itu tidak akan terpakai. Hasilnya ialah keusangan teknologi (technological obsolescence) sehingga hasil teknologi lama setara dengan teknologi baru (Breeding, 2002).

5. Penyelesaian Masalah Melalui Hukum dan Etika

Ada masalah yang dapat diselesaikan menurut hukum misalnya peretasan walaupun sampai kini jarang pernah diungkapkan siapa peretas situs dengan mudah. Untuk perpustakaan digital yang dikelola perguruan tinggi, peretasan relatif lebih kecil dibandingkan situs lembaga pemerintah, perbankan, industri. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa situs milik perpustakaan perguruan tinggi “kurang menantang” bagi para peretas.

Berbagai masalah umum yang timbul, sukar atau tidak mungkin dipecahkan secara tuntas karena ada perbedaan mendasar antara filsafat morat Barat yang menekankan pada peraturan, demokrasi, hak individu dan kebebasan pribadi dengan kebudayaan Timur yang mendasarkan pada hubungan hirarki, tanggung jawab kolektif dan keserasian sosial (Martinsos dan Ma, 2009).

Daur hidup informasi, transmisi, dan literasi informasi menjadi semakin penting bagi masyarakat informasi. Namun dengan adanya masalah kepemilikan seperti akses versus kepemilikan, akses ke sumber daya informasi, privasi, kerahasiaan dan keamanan diperlukan perangkat untuk mengaturnya. Karena pemencaran informasi semakin mendunia, sementara tiadanya hukum internasional yang mampu mengatur informasi, maka diperlukan dasar etika yang mengatur praktik yang adil, wajar dan bertanggung jawab. Untuk keperluan itu diperlukan etika informasi.

6. Etika Informasi

6.1.Definisi

Etika informasi adalah kajian pertimbangan etis yang timbul dari penyimpanan, pemerosesan, temu balik dan penggunaan informasi, sistem informasi dan teknologi informasi dan komunikasi. Etika informasi merupakan bidang kajian yang timbul dengan terjadinya konvergensi masalah etis dari disiplin tradisional seperti sistem manajamen dan informasi, ilmu perpustakaan dan informasi, terutama dengan berkembangnya sistem dan jasa informasi sambung jaring serta internet. Misalnya privasi dan kerahasiaan (confidentiality) merupakan keperhatian.

Reitz (2004) mendefiniskan etika informasi sebagai cabang etika yang memusatkan pada hubungan antara kreasi, organisasi, diseminasi, dan penggunaan informasi serta standar etika dan ketentuan moral yang mengatur tindakan manusia dalam masyarakat. Dengan demikian etika informasi adalah kajian pertimbangan etis yang muncul dari kegiatan penyimpanan pemerosesan, temu balik dan pengunaan informasi, sistem informasi (baca perpustakaan digital) dan teknologi informasi atau teknologi informasi dan komunikasi.

Etika informasi merupakan bidang kajian yang timbul dengan konvergensi keperhatian etika dari berbagai disiplin tradisional seperti sistem manajemen dan informasi ilmu perpustakaan dan informasi, khususnya dengan perkembangan yang cepat dari sistem dan jasa informasi sambung jaring (online) dan internet. Masalah yang timbul berkaitan dengan privasi dan kerahasiaan (confidemtiality) pada bagian sirkulasi dan jasa informasi bisnis; kedua-duanya bidang itu juga menghadapi masalah bersama seperti keamanan dalam sistem akses publik, dalam lingkungan berjejaring. Hal itu di perpustakaan digital masih cipta dengan penggunaan sewajarnya.

6.2. Kedudukan

Etika informasi berhubungan dengan etika komputer (Floridi, 1999) dan juga dapat merupakan bahagian dari etika sosial, di dalamnya termasuk etika informasi dan etika informasi ini dikaitkan dengan pustakawan, arsiparis, kurator museum, dan profesi yang bergayutan dengan informasi terekam.

6.3. Asal Usul Kata

Kata etika berasal dari kata Yunani “ethos” artinya tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; akhlak; kesusilaan, adat; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (taetha) artinya adat kebiasaan.

Etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis normatif tentang moralitas. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan moral berada pada tingkat yang tidak sama. Ajaran moral mengatakan bagaimana kita harus hidup sedangkan etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.

Jadi etika sekaligus kurang dan lebih dari ajaran moral. Kurang karena etika tidak berwewenang untuk menetapkan apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan. Wewenang itu diklaim oleh pihak yang memberikan ajaran moral. Bersifat lebih karena etika berusaha untuk mengerti mengapa atau dasar apa kita harus hidup menurut norma tertentu. Ibaratnya ajaran moral sama dengan buku petunjuk bagaimana kita harus merawat sepeda dengan baik sedangkan etika memberikan pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda itu sendiri.

Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis normatif tentang moralitas. Etika disebut juga filsafat moral yang berbicara tentang praksis manusiawi, tindakan manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia melainkan bagaimana ia harus bertindak.

6.4. Ciri Khas

Etika sebagai pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Pertama rasional berarti mendasarkan pada nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Nalar misalnya dalam sejarah Indonesia, raja tidak pernah dikubur dengan harta bendanya. Maka kalau ada orang menggali kuburan kuno dengan harapan dapat menemukan harta karun maka hal tersebut tidak rasional, tidak masuk nalar. Kedua kritis berarti bahwa filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya. Dalam Ilmu Politik ada istilah radikal berasal dari kata radix artinya akar. Maka gerakan radikal yang ingin mengubah sesuatu berarti gerakan yang ingin mengubah sampai ke akar-akarnya. Ketiga mendasar artinya membahas hal yang utama. Keempat sistematis adalah membahas langkah demi langkah secara teratur, merupakan tindakan pemeriksaan rasional, kritis dan mendasar. Kelima normatif artinya tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan juga menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya. Maka definisi etika adalah filsafat moral atau pemikiran rasional, kritis, mendasar dan sistematis tentang ajaran moral.

6.5. Fungsi Etika

Etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis bila berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan. Etika mau menimbulkan suatu keterampilan intelektualitas yaitu keterampilan untuk beragumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi etis digunakan untuk mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme moral. Pluralisme moral semakin meluas karena:

  • Pandangan moral yang berbeda-beda karena orang dari suku, daerah budaya dan agama yang berbeda-beda hidup berdampingan dalam satu masyarakat dan negara.
  • Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai masyarakat dengan akibat menantang pandangan moral tradisional.
  • Berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup (Magnis-Suseno, 1987).

Maka manusia memerlukan orientasi agar tidak bingung atau ikut-ikutan dalam menghadapi pluralisme. Dalam kehidupan sehari-hari kata etika sering dirancukan dengan istilah etiket, etis, ethos, iktikad dan kode etik atau kode etika. Untuk keperluan pembedaan istilah yang mirip itu akan diuraikan di bagian berikut ini.

6.6. Etika dan Etiket

Dalam kehidupan sehari-hari mungkin secara tidak langsung kita melihat adanya kerancuan antara kata etika dengan etiket. Misalnya di sebuah restoran seorang makan sambil mengeluarkan suara yang keras. Maka orang lain memberikan komentar bahwa si A yang sedang makan itu tidak tahu etika. Pada kesempatan lain dikatakan si B tidak punya etika karena dia selalu bohong. Sesungguhnya antara kedua kata tersebut terdapat perbedaan yang hakiki.

Etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan buruk. Etiket adalah ajaran sopan santun yang berlaku bila manusia bergaul atau berkelompok dengan manusia lain. Etiket tidak berlaku bila seorang manusia hidup sendiri misalnya hidup di sebuah pulau terpencil atau di tengah hutan. Etika berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ethics dan etiquette. Antara etika dengan etiket terdapat persamaan yaitu:

  • Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut dipakai mengenai manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket.
  • Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut sering dicampuradukkan.

Adapun perbedaan antara etika dengan etiket ialah:

  • Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukkan cara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu. Misalnya dalam makan, etiketnya ialah orang tua didahulukan mengambil nasi, kalau sudah selesai tidak boleh mencuci tangan terlebih dahulu. Di Indonesia menyerahkan sesuatu harus dengan tangan kanan. Bila dilanggar dianggap melanggar etiket. Etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
  • Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Bila tidak ada orang lain atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya etiket tentang cara makan. Makan sambil menaruh kaki di atas meja dianggap melanggar etiket bila dilakukan bersama-sama orang lain. Bila dilakukan sendiri maka hal tersebut tidak melanggar etiket. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.
  • Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contohnya makan dengan tangan, bersenggak sesudah makan. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong” atau “jangan mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
  • Etika jauh lebih absolut. Penipu misalnya tutur katanya lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak mungkin munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak bersikap etis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.

Etika dan etis memiliki pengertian yang berbeda. Etis artinya sesuai dengan ajaran moral, misalnya tidak etis menanyakan usia pada seorang wanita, sedangkan etika adalah ilmu tentang moral.

6.7. Penyusunan Etika Informasi

Etika informasi dapat merupakan bagian dari etika pustakawan, etika informasi maupun etika komputer; kesemuanya saling beririsan. Froehlich (1998) menyebutkan etika informasi sebagai keperhatian bersama dari media, jurnalisme, ilmu perpustakaan dan informasi, etika komputer (juga disebut siberetika), sistem manajemen informasi, bisnis, dan internet. Walaupun internet masih belum ada, soal etika komputer sudah dikemukakan oleh Suwando (1983) dapat ditambah dengan keharmonisan sosial, menghomati otonomi, dan hak perseorangan (Froehlich, 1997).

Untuk keperluan etika informasi maka perlu dibuat prinsip etika informasi. Beberapa prinsip yang perlu dikemukakan antara lain oleh Severson (1997) ialah prinsip menghormati privasi, hak kekayaan intelektual (HaKI), representasi yang adil artinya mewakili semua pihak dalam pemberian dan pemencaran informasi.

Etika informasi memiliki ruang lingkup yang luas. Editor pertama Journal of Information Ethics, terbit pertama kali tahun 1992 mengatakan bahwa etika informasi berhubungan dengan etika dalam semua bidang produksi dan diseminasi informasi dan pengetahuan termasuk ilmu perpustakaan dan informasi, pendidikan untuk profesional informasi, teknologi, paparan grafis, manajemen pangkalan data, privasi, sensor, informasi pemerintahan, dan tinjauan mitra bestari dan lainnya.

Dengan melihat uraian di atas maka etika informasi di Indonesia sebaiknya disusun oleh berbagai pemangku kepentingan seperti praktisi TI, ilmu perpustakaan dan informasi, kearsipan, museum, pemerintah. Hal itu dapat membantu penyusunan etika informasi namun tindak lanjutnya ialah apakah perlu disusun etika informasi yang berlaku bagi profesi ataukah prinsip etika informasi yang dibenamkan dalam kode etik masing-masing profesi.

Bila ada sebuah etika informasi maka perlu keterangan lebih lanjut siapa yang menindaklanjuti pelaksananaanya. Lazimnya ada Majelis Kehormatan Kode Etik Informasi, namun profesi manakah yang akan menjalankannya. Bila masuk masing-masing profesi, maka sebaiknya komponen etika informasi dimasukkan di dalamnya seperti Kode Etik Kedokteran (adanya informed consent), pustakawan (misalnya perlindungan privasi, perusahaan (misal pembajakan perangkat lunak, penggunaan sumber komputer yang sesuai, anonimitas dalam jaring).

 

 

7. Kesimpulan dan Saran

7.1. Kesimpulan

Perkembangan teknologi informasi serta internet menghasilkan perpustakaan jenis baru yaitu perpustakaan digital yang memiliki perbedaan dengan perpustakaan tradisional dalam hal koleksi, jasa, ketersediaan akses dan berbagi sumber dengan perpustakaan lain. Keterbukaan informasi yang ada pada perpustakaan digital menimbulkan berbagai masalah seperti privasi, keamanan data, plagiarisme, keamanan, kelimpahan informasi dan lain-lain. Berbagai masalah yang timbul dapat diatur menurut undang-undang, namun ada masalah yang tidak sepenuhnya diatur dengan hukum sehingga perlu ditata menurut etika. Etika yang diperlukan ialah etika informasi yang diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah informasi yang timbul akibat perkembangan teknologi informasi dan internet.

7.2. Saran

Disarankan pembentukn Federasi Perpustakaan Digital Indonesia sebagai forum yang mampu membawahi dan memperjuangkan kepentingan perpustakaan digital. Isu yang dibahas dalam makalah ini belum sepenuhnya diatasi.

Saran kedua ialah penyusunan kode etik informasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Mengingat arti informasi yang sangat luas.

Saran ketiga ialah adanya pengajaran mata kuliah Etika informasi pada lembaga pendidikan pustakawan dan juga ilmu komputer. Untuk lembaga pendidikan pustakawan karena keterbatasan kredit atau kesulitan pembentukan mata kuliah baru, maka etika informasi dapat disisipkan pada mata kuliah lain yang ada seperti yang dimasukkan dalam Mata Kuliah Inti Ilmu Perpustakaan dan Informasi.

Bibliografi

Asosiasi penyelenggara Jasa Internet. (2013). Indonesia Internet Users: Statistik. Pada http://www.apjii.or.id/v2/index.php/read/page/halaman-data/9/statistik.html . Diunduh 5 November 2013.

Balasubramanian, P. (2013). Baladhandayutham,A. Manual of library and information science. New Delhi: Regal Publications.

Breeding, Marshall. (2002). Preserving digital information. Information Today, 19, 5, May, 48-50.

Buchanan, Elizabeth A. (1999). “An overview of information thics issues in a world-wide context”.

Ethics and Information Technologies, 1:193-201.

Buckland, M.K. (1998). “What is a “digital document”? Document Numerique, 2 (2):221-230.

——-. (1977). “What is a Document?” Journal of the American Society for Information Science, 48 (9),804-9.

Cain, Mark. (2003). Managing technology: being a library record in a digital age. Journal of Academic Librarianship, 29,6.

Froehlich, Thomas. (1997). Survey and analysis of legal and ethical issues for library and information services. Berlin:G. K . Saur.

Froehlich, Thomas. (1998). A brief history of information ethics. Pada http://bid.ub.edu/13froel12.htm. Diunduh 11 september 2013.

Froehlich, Thomas. (2003). Information ethics. Dalam International Encyclopedia of Library and Information Science. London: Routledge.

Floridi, Luciano. Information: a very short introduction. Oxford: Oxford University Press, 2010.

Himma, Kenneth Einar dan Herman T. Tavani (eds). (2008). The handbook of information and computer ethics. New York: Wiley.

Koroleva, Ksenia; Krasnova, Hanna. Gunther, Oliver. (2010). “”STOP SPAMMING ME!” – Exploring Information Overload on Facebook”. AMCIS 2010 Proceedings.

Magnis-Suseno, Franz. (1987). Etika dasar: masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Kanisius.

Martinson, M.G. dan D. Ma. (2009). “Sub-cultural differences in informationethics across China: focus on Chinese management generation gaps.” Journal of the Association of Information Systems,10,11,957-973. Pada http://aisel.aisnet.org/hais/vol10/iss11/2.

The Privacy Journal. www.townonline.comn/specials/privacy.

Reitz, Joan M. (2004). Dictionary for library and information science. Westport, Connecticut: Libraries Unlimited.

Republik Indonesia. (2010). Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 2008. Baru berlaku tahun 2010 setelah dua tahun diundangkan.

Reynolds, George. (2003). Ethics in information technology. Boston: Thompson.

Severson, R.W. (1997). Principles of information ethics. London: M.E.Sharpe.

Toffler, Alvin. (1970). Future shock. New York: Random House.

Suwandi, Indro S. (1983). “Profesionalisme, etika dan pendidikan di bidang teknologi komputer dan informasi,” makalah Konferensi Komputer Nasional, Jakarta, 1983.

Wallace, Kathleen A. (2008). “Online anonymity”. Dalam The handbook of information and computer ethics. Kenneth Einar Himma and Herman T. Tavani (Eds). Pp 165-193 New York: Wiley.


Tinggalkan komentar

Author